Sabtu, 21 April 2012

BJ




Aku Berbeda

Kenapa Aku berbeda?
Andai dapat memilih dan meminta
Kan kuajak malaikat menawar harga
Namun malaikat pun enggan
Karena telah tergariskan
Aku di sisi pantai
Berdiri menatap angkasa

Menghitung dengan jemari
Takkan tercapai
Hentikan napas kehidupan
Karena aku berbeda

Aku merengek
Meminta dan meronta
Tak didengar
Karena telah tergariskan

Adakah sisa yang lain?
Yg dapat aku perbaiki
Adakah keadaan yang lain
Yg dapat aku memilih?

Kenapa aku berbeda?

The Flower

Seperti hari biasanya, kami The Flower siap rekaman lagu baru yang akan menjadi single kedua dalam album amatir kami. Band yang didirikan sekitar dua tahun yang lalu ini sudah berhasil menciptakan 7 lagu yang baru bisa dinikmati oleh siswa-siswa SMAN 1 LA tempat dimana aku menuntut ilmu. Akhir bulan lalu, kami memang sudah mempromosikan lagu-lagu kami ke beberapa radio lokal namun belum ada tanda-tanda hasil yang menunjukan apa pun. Aku pastikan semua warga SMAN 1 LA pasti mengenalku. Lagu-lagu kami memang lumayan banyak disukai di sekolah. Dan tak jarang kami mengisi acara besar di sekolah.
Dengan langkah tergesa-gesa, aku membanting tas kesayanganku ke sofa. Siang ini memang terasa sangat panas. Hanya ada aku dan Berta sang keyboardist di ruangan studio sempit ini. Studio yang kami bangun dengan jerih payah kami. Sebagian besar ayah Dea lah yang berkontribusi membangun ruang studio yang gelap dan pengap ini.
“Yang lain kemana?” tanya Berta sambil melirik kearahku. Keringatnya yang sebesar biji jagung berkumul di keningnya yang putih itu.
“Lagi pada beli minum di luar” ucapku seadanya sambil kipas-kipas dengan kertas koran.
“Nih” Berta mengulurkan air mineral yang tergenggam di tangannya. Aku hanya bisa menyerobot minuman itu dengan rakus. Sejak 3 jam yang lalu tenggorokanku memang sudah seperti padang pasir. Tercekik haus.
“Thanks” kataku kemudian meneguk air mineral itu. Aku dan Berta memang sudah seperti sahabat. Ia sangat baik dan perhatian padaku. Oh tidak, aku rasa ia sangat perhatian pada semua orang apa lagi kami personil The Flower. The Flower adalah sebuah band kecil terdiri dari Berta sebagai pemain keyboard, aku memegang bas, Dea sebagai vokal, Gerald sebagai pemain drum, Fuad di melodi dan Ola di Rithem. Entah bagaimana awalnya kami dipersatukan dalam The Flower tapi yang pasti untuk saat ini persahabatan kami begitu akrab.
“Hey, kalian udah datang tho” kata Fuad yang tiba-tiba nongol dari balik pintu. Tiba-tiba wajahnya memucat aku menebak bahwa ia akan berbicara serius kali ini. “Kalian tau ga sih kita sekolah kan tinggal 2 bulan lagi. Aku ga tau apakah aku bisa bertahan di Shaula lebih lama atau tidak. Soalnya kemarin orang tuaku sudah mulai membicarakan tentang masa depan ku. Aku harus kuliah di Purwekerto” Fuad memejamkan matanya. Maka kini giliran wajahku yang memucat. Iya, Ujian Nasional akan dilaksanakan dalam jangka waktu dua bulan lagi. Tak terasa waktu semakin dekat dengan perpisahan. Dan jauh berbulan-bulan yang lalu, aku sudah menyiapkan rencanaku untuk kuliah di Bogor. Maka aku pun sama dengan Fuad aku harus meninggalkan Shaula.
“Sama Ad. Aku juga harus kuliah. Huft....” ucapku sambil menghempaskan napas dalam-dalam. Aku tertunduk sedih, tak bisa kubayangkan ketika aku akan berpisah dengan teman-teman The Flower yang selama ini sangat berarti dalam hidupku. Aku ingat sekali ketika kami mengalami suka dan duka, ketika kami berjuang susah payah mencari dana untuk membangun studio, kemudian kami tawarkan lagu-lagu kami ke radio-radio bahkan tidak jarang radio-radio itu mengusir kami dan membentak-bentak kami karena menurutnya lagu kami jelek,
“Hey, kok malah  pada hening gini sih. Ayo kita latihan” teriak Dea yang baru saja datang bersama Ola dan Gerald ayo donk semangat” sambung Dea.
Kami semua bangkit dan mengambil alat musik masing-masing. Tapi setelah beberapa kali main, Dea malah tak berkonsentrasi padahal dia yang menyeru kepada kami supaya bersemangat namun nyatanya dia sendiri yang tak bersemangat. Menjilat ludah sendiri, kataku dalam hati.
“Kamu kenapa sih De?” Fuad mulai kesal dengan keadaan Dea yang gusar sejak tadi.
“Sori Ad perutku sakit. Hari pertama aku mens soalnya” Dea memegangi perutnya yang kesakitan. Namun kami tau sakitnya tak terlalu serius jadi sepertinya tak perlu ada tindakan yang serius pula.
“Yu udah kalau emang keadaannya kaya gitu berarti gak bisa dipaksain kayaknya. Soalnya mau dipaksain juga percuma kan. Latihannya cukup sampai disini aja” Fuad ngeloyor sambil menaruh Gitar melodi kesayangannya sekilah ia tampak marah pada Dea namun dari raut mukanya sejak baru datang tadi aku tau ada yang ngga beres dengannya.
“Kenapa tuh anak?” tanya Ola.
“Biarkan saja sepertinya dia sedang ada masalah pribadi. Soalnya tadi waktu baru datang ia tampak kusut dan lelah. Ya sudah kita pulang saja yuk”
“Berta, kau bisa antar aku pulang ngga? Kayaknya aku ngga bisa pulang sendiri nih” Dea berjalan mendekati Berta yang tengah siap-siap mencangklong tas kesayangannya.
“Maaf De, aku sedang buru-buru sekarang. Aku harus ke galeri pamanku. Ditunggu setengah jam lagi. Kau pulang bersama Gerald saja. Tak apa kan?”
“Ouh baiklah” sepertinya Dea agak kecewa. Sambil menahan perutnya yang nyeri Dea mendengus kesal.
Aku sendiri masih tak ingin pulang. Aku masih ingin di sini. Studio inilah sebenarnya yang kadang membuatku berhasil menciptakan lagu-lagu baru. Rumahku memang tak bersahabat denganku, betapa sebal dan membosankannya di sana. Semua telah pergi. Hanya tersisa aku sendiri di sini. Aku sendiri bingung apa yang akan aku lakukan. Dengan langkah kecil mendekati keayboard. Dulu mama sering mengajarkanku memainkan piano. Aku mencoba menyentuh tuts-tuts piano  dengan jari-jari mungilku, tiba-tiba aku rindu dengan mama ku. Dengan perasaan tidak sadar aku memainkan lagu yang dulu pernah diajarkan mama, aku pun sempat meneteskan air mata. Aku larut dalam permainanku sendiri hingga akhirnya aku tersadar ada seseorang yang bertepuk tangan ketika aku selesai memainkan lagu itu.
“Sejak kapan kamu ada di sini?”
“Tak lama kok. ada sesuatu yang ketinggalan. Ini...” kata Berta mengambil topi coklatnya. “Kamu kenapa?” tanya Berta saat ia melihat mataku yang memerah.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedang rindu pada ibuku”
“Hm.... ikut aku yuk”
“Kemana?” Berta tak menjelaskan kemana kita akan pergi. Aku hanya bisa pasrah. Di dalam mobil kami saling terdiam. Aku larut dengan lamunanku sendiri begitu pun dengan Berta. Namun tiba-tiba ponselku berdering.
“Halo Ken” ucapku sambil mendekatkan ponsel ke telingaku. “Kayaknya ngga ada deh, kenapa?” aku melirik ke arah Berta, dia tampak serius mengemudi. “Oke deh besok sepulang sekoah ya aku tunggu. Bye...” aku menutup ponselku dan memasukannya ke dalam tas ku.
“Sudah berapa lama kamu jadian dengan Ken?”
“Tiga tahun”
“Kau mencintainya? Ah maaf. Pasti kamu sangat mencintainya”
“Yah ku harap begitu. Ah sudahlah. Ouh ya setelah lulus SMA kau mau kuliah dimana?”
“Aku mau ke Padang. Ibuku ada di sana. Dan mungkin aku akan mencari pekerjaan di sana. Kamu udah pasti kuliah ke Bogor?”
“Aku harap aku bisa di terima di sana”
“Sudah pasti. Kau kan pintar” aku tak mengerti apa yang ada dipikiran Berta. Aku pintar? sejak kapan? Hm... padahal jelas-jelas dia yang jenius. Ah Berta selalu merendah. Mobil Berta berhenti di lapangan parkir sebuah galeri lukisan. “Turun yuk..!”  sambungnya.
Ake berdecak kagum ketika menginjakan kakiku di lantai galeri ini hingga tak aku sadari langkahku tertinggal jauh oleh langkah Berta. Berta menarik tanganku dan membuyarkan lamunanku.
“Aduh Berta, kenapa mesti buru-buru sih? Aku kan mau lihat-lihat dulu”
“Kita harus bertemu dengan pamanku. Kita udah telat” Berta berjalan setengah berlari.
“Apa  urusannya denganku? Bukankah itu urusanmu?” tanyaku. Langkah Berta berhenti mendadak.
“Iya yah. Ya sudah kamu tunggu di sini. Jangan kemana-kemana. Oke”
“Jangan lama-lama yah” Berta mengangguk dan berjalan menjauh. Aku menunggu Berta sambil melihat-lihat beberapa lukisan yang terpampang di dinding-dinding lobi. Ada sebuah lukisan yang membuatku tak ingin berhenti untuk menatapnya. Aku tak ingin memalingkan wajahku dari lukisan ini. Melihatnya membuatku begitu tenang dan damai. Aku ingin membawanya pulang, tapi rasanya tidak mungkin. Aku yakin lukisan ini pasti sangat mahal bahkan ada lukisan yang harganya ratusan juta rupiah. Ah andai saja aku punya banyak uang maka akan ku bawa pulang lukisan itu. Berta tiba-tiba muncul dan menepuk punggungku. Aku kaget dan berbalik ke arahnya.
“Ih kamu bikin aku kaget tau. Aku kira kamu hantu” ucapku sambil mengatur napas. Entahlah tepukan Berta benar-benar membuatku shock.
“Sejak kapan ada hantu dengan tampang ganteng kaya gini? Hm... ada apa dengan lukisan ini?”
“Aku suka. Suka banget. Pengen bawa pulang tapi impossibble banget deh kayanya” ucapku sambil terus menatap lukisan ini.
“Kenapa kamu suka lukisan ini?”
“Lukisan ini bikin aku tenang. Membuatku tak ingin meninggalkan tempat ini. kenapa aku jadi kaya gini ya?”
“Tau deh.... kamu kaya yang terhipnotis aja”
“Iya kamu bener. Aku terhipnotis oleh lukisan ini”
“Ah udahlah ayo, aku mau nraktir kamu makan. Mau ga?”
“Setuju...” aku ga akan menolak pada siapapun yang akan mentraktirku makan, secara gratisan.
Di Grage mall cirebon, mobil Berta terparkir dengan rapi. Kami berdua masuk ke dalam mall. Selintas kami terlihat seperti pasangan kekasih. Ah ini adalah kali pertamanya aku dan Berta jalan berdua biasanya kami jalan berlima atau berenam. Berta cukup tampan sih, bahkan sebenarnya dia itu cool, jenius pula. Ah sayang  sekali kenapa dia belum punya cewek. Andai aku bisa jadi ceweknya, bahagianya...... hm.... aku mulai berafikir yang ngga ngga deh. Habis bagaimana lagi, bener deh Berta itu perfect banget. Tapi baiklah aku sudah punya Ken. Ken sudah cukup baik padaku. Meskipun kami jarang kontak karena Ken terlalu disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikulernyanya dan aku pula sibuk dengan The Flower jadi kami jarang sekali ketemu atau jalan bareng.
“Makan dulu, terus kita nonton” ucap Berta. Aku kaget, nonton?
“Nonton?” tanyaku pada Berta. Aku mendongakan kepalaku tepat di depan wajahnya. Aku kaget sekali ketika menyadari posisi ku sangat dekat dengannya.
“Iya. Kenapa?” jawabnya sambil tersenyum.
“Ah ngga kenapa-kenapa” jawabku sambil menjauhi wajahnya.  Aku ingin bertanya lebih lanjut, namun kuurungkan niatku.
            Setelah makan dan merasa kenyang, kami membeli dua tiket nonton.
“Berta, aku ke toilet dulu ya. Kamu duluan aja, nanti aku nyusul” ucapku pada Berta dan dia mengangguk. Sebelum nonton biasanya aku buang air kecil terlebih dahulu biar ngga kebelet di tengah pas nonton, soalnya diruangan berAC biasanya aku akan sering tak kuasa menahan buang air kecil. Suasana ruangan bioskop pun sudah dibuka dan masih sangat sepi. Aku melangkah masuk ke ruangan bioskop menyusul Berta dan aku begitu terkejut luar biasa. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Seketika Berta memelukku dari samping dan menutup mataku dengan tangannya. Aku tak kuat melihatnya. Berta segera menarikku dan keluar dari ruangan bioskop. Aku tak bisa menahan air mataku.
“Berta, bisa anter aku pulang?” tanyaku padanya dengan perasaan sangat kacau. Ah aku sudah tak bisa berfikir apa-apa lagi. Aku segera masuk mobil dan Berta pun sangat mengerti dengan keadaanku.
“Pulang?”
“Ke rumah Ola. Aku ga bisa sendirian”
“Halo Ola, kamu ada di rumah?. Oke, aku sama Saski mo ke rumah kamu. Kamu jangan kemana-mana ya” ucap Berta lewat ponselnya. Ia memastikan agar Ola benar ada di rumah.
“Thanks ya” air mataku masih belum mau berhenti mengalir. Ah begitu sakit rasanya. Ken berciuman dengan wanita litu. Aku sering melihat wajah wanita itu, dia memang salah satu aktivis OSIS. Tapi aku tak tau siapa namanya.
Sesampainya dirumah Ola, aku langsung memeluknya. Dan Ola menyambut pelukannku.
“Kenapa Sas?” tanya Ola. Aku tak menjawab. Dan Berta pun tetap diam.
“Ke taman belakang aja La. Saski lagi butuh temen. Jiwanya lagi terguncang“  kami bertiga melangkah menuju taman belakang. Aku melangkah tetap dalam pelukan Ola an Berta berjalan di belakang kami.
“Kenapa Sas, cerita donk” tanya Ola yang nampaknya sangat penasaran.
“Tadi kita liat Ken sama Helena ciuman di bioskop” jawab Berta.
“Apa? Ken sama Helena? Kurang ajar banget sih tuh anak” kata Ola garang.
Aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Menghapus air mataku dan menarik napasku dalam-dalam.
“Udah lah, mungkin ini sudah waktunya. Dari dulu aku udah ngerasa ada yang beda dari Ken. Apalagi semenjak masuk OSIS dia nampak beda. Dan mungkin ini jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Kalian ngga usah khawatir. Aku baik-baik saja kok” ucapku seraya mencoba tersenyum pada kedua sahabatku itu.
Tiga bulan kemudian
Aku telah memutuskan hubungan dengan ken. Hubungan itu memang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Sakit hatiku sudah mulai menghilang, lagipula selama ini pun sebenarnya aku tak terlalu mengharapkan Ken. Aku tak pernah menganggap Ken spesial.
Saski, ada paket tuh buat kamu” seru ayah dari lantai dasar. Aku sangat penasaran paket apaan? Dari siapa pula? aku menuruni anak tangga rumah dengan perasaan deg-degan dan penasaran. Aku  melihat sebuah benda persegi panjang dengan luas 1 m2 tergeletak dekat kursi rumah. Benda itu dibungkus dengan kertas berwarna coklat. Aku menyobek kertas itu dan alangkah terkejutnya benda itu adalah lukisan yang pernah aku lihat di galery milik paman Berta. Aku  juga menemukan amplop Biru muda di dalam lukisan itu.
Aku ngga jadi jual lukisan ini sejak kamu bilang kalau kamu sangat menyukai lukisan ini.  Aku sadar lukisan ini sangat berharga bagiku karena ini adalah lukisan pertamaku selain itu aku melukis ini dengan bimbingan ayahku sebelum ia meninggal. Intinya aku tak ingin melepaskan Lukisan ini. Namun aku titipkan lukisan ini kepadamu hingga suatu hari disaat aku sudah siap aku akan menjemput lukisan ini dan menjemputmu. Aku sayang kamu Saski
Berta Baratha.
Aku meneteskan air mata sembari memeluk kertas surat itu. Aku  tak menyangka Berta menyayangi dan mencintaiku. Sudah lama aku memendam perasaan untuk Berta namun aku tak berani berbuat apa-apa. Setelah tau Berta naksir gadis lain yang aku pun tak tau siapa gadis itu akhirnya aku memutuskan untuk menerima Ken yang selama ini meminta cintaku. Namun aku tau Berta tak pernah dekat dengan cewek manapun. Kini aku tau Berta berada di Padang. Dan entah kapan ia akan kembali. Namun aku yakin Berta akan menjemputku dan menepati janjinya.

Pangeran Bintang dan Puteri Langi


Akhirnya hari ini aku ditelpon oleh salah satu penerbit swasta, uang royaltiku akan segera cair hari ini. Novel pertamaku sudah nangkring di deretan novel ‘New Arrival’ bersama dengan novel-novel lain yang tantu saja ditulis oleh penulis-penulis besar. Kini saatnya aku mencoret salah satu mimpiku untuk menjadi penulis novel dan menerbitkan novel pertamaku. Sebenarnya sejak satu bulan yang lalu novelku ada di Gramedia. Senang dan bahagia sekali rasanya. Setelah berkali-kali aku jatuh bangun, kini akhirnya aku berhasil berdiri tegak.
            Aku bersiap-siap menuju kantor penerbit. Kantor yang ada di daerah Kota itu memang jauh dari rumahku, aku membutuhkan waktu satu jam penuh untuk sampai kesana. Siang ini cuaca sangat panas, sebenarnya aku malas keluar rumah dengan cuaca seperti ini, namun apalah daya, lagipula aku tak ingin mengecewakan Mba Nisa yang sudah memperjuangkan novel pertamaku itu.
            Novel pertama ini aku tulis berdasarkan kisah pribadiku sendiri, meskipun aku bumbui sedikit dengan kebohongan-kebohongan agar ceritanya tampak menarik. Aku sedang sekali ketika menuliskannya. Kisah yang berjalan selama tiga tahun lamanya aku tulis dalam 250 halaman.
            Pukul 11 siang aku sampai di kantor penerbit. Mba Nisa langsung menyambutku dan mengucapkan selamat kepadaku, aku sangat senang sekali Mba Nisa melakukannya untukku
“Baiklah Ri, tunggu sebentar ya. Pak Seno yang ingin menyampaikannya sama kamu” ucapnya sambil meninggalkanku sendiri di ruang tunggu. Mba Nisa memang selalu sibuk dengan pekerjaannya, maklumlah dia kan seorang redaktur bagian fiksi. Namun aku sangat senang bisa kenal dengan orang seperti Mba Nisa. Baik dan perhatian sekali meskipun kami baru kenal. Mba Nisa memberikan pelayanan yang sangat memuaskan untukku meskipun aku adalah anggota penulis baru dan pemula tapi rasa hormatnya sama seperti ia menghormati dan melayani penulis tingkat tinggi.
            Lima belas menit aku menunggu, akhirnya Pak Seno muncul juga dari balik pintu ruangannya. Begitu melihatnya aku langsung berdiri dan tersenyum kepadanya dan beliau pun membalas senyumku.
“Riri ya?” tanyanya sambil duduk di sofa yang ada di hadapanku.
“Iya Pak’ jawabku sambil turut duduk dan tersenyum.
“Ya, begini Nak Riri selamat novel anda telah berhasil terbit ya meskipun baru sebulan dan kami pun belum dapat memastikan apakah novel itu akan menjadi best seller atau tidak. Namun berdasarkan perjanjian maka kami akan membayarkan royaltinya kepada anda” ucapnya dengan sangat bijak. “Bagaimana apakah anda ingin langsung tunai atau menggunakan rekening?” tanyanya lagi.
“Pakai rekening saja Pak” ucapku pendek.
“Baiklah, silakan tulis nomor rekeningnya, nanti pegawai saya yang akan mengirimkannya kepada anda” katanya sambil menyodorkan kertas dan sebuah pulpen. Aku membuka buku tabunganku yang sengaja aku bawa dan menuliskan beberapa digit angka pada kertas putih bersih itu.
            Aku melangkahkan kakiku dengan sangat ceria. Pukul tiga sore aku sampai di gerbang perumahanku. Mataku menangkap sosok yang sepertinya aku kenal. Badan dengan perawakan sedikit berisi, jaket blaster hijau coklat yang menjadi almamater kelas waktu SMA, serta model rambut yang tak asing bagiku. Dia tertunduk lesu di depan gerbang rumahku. Aku mendekat dan semakin mendekat, aku semakin penasaran dengan sosoknya. Dia adalah teman sekelasku, tapi siapa? Kepalanya yang menunduk, membuatku tak dapat melihatnya, namun akhirnya ia menatap pandangannya lurus. Aku membekap mulutku sendiri ketika ia mendongakkan kepalanya, aku kaget bukan main. Sosok itu kenapa ada di depan rumahku? Sosok yang satu tahun ini aku tak bertemu dengannya. Sosok yang pernah mewarnai hidupku, masa-masa SMA ku.
Apa yang sedang ia lakukan di sini? Di depan rumahku? Darimana dia tau kalau aku tinggal di sini? Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya. Dulu aku sangat membencinya. Aku benci karena ia tumbuh menjadi anak yang jenius. Aku benci karena dia selalu menjadi yang pertama di kelas. Aku benci karena dia pernah memenangkan lomba OSN. Aku benci dia.
Dadaku semakin deg-degan tak karuan saat ia mata bulatnya melihat ke arahku. Rasanya aku ingin segera kabur dan berlari tapi itu tak mungkin ku lakukan. Ia berdiri untuk menyambutku. Dan tak ada yang harus aku lakukan, aku mempercepat langkahku untuk menemuinya.
“Ini Novel kamu kan?” tanyanya sambil menyodorkan sebuah novel ber-cover biru dengan judul ‘Pangeran Bintang’. Aku terkejut ia membawa novelku. Sebagian kisah dari novel itu memang tentangnya. Apa yang harus aku katakan padanya kalau sampai dia tahu kalau akulah yang nulis novel itu. “Aku masih inget lho sama cita-citamu yang ingin jadi penulis novel” katanya. Kemudian dia diam beberapa detik.
“Itu bukan novelku” jawabku ketus. Aku tak ingin dia tahu tentang kisah itu yang tiga per empatnya adalah nyata. Aku berdiri tepat dihadapannya.
“Lun, aku mau ngomong sama kamu” katanya lagi.
“Ngomong aja!” ucapku tak ramah.
“Kamu itu masih kaya yang dulu yah. Judes. Kamu tau kan aku kesini bela-belain dari Jogja dan kamu ngga mempersilakan aku masuk sama sekali. Dasar tidak memuliakan tamu” katanya dengan mimik wajah yang sama ketusnya.
“Udah deh katanya mau ngomong, ya udah ngomong aja!” ucapku. Sejujurnya aku sangat merindukannya. Ingin sekali aku memeluknya, namun hatiku terlalu gengsi untuk mengakui perasaan yang selama ini bernaung dalam hatiku.
“Iya, aku mau ngomong sama kamu, tapi ngga di sini. Ikut aku...!” dia menarik paksa lenganku dan mengajak naik ke motor hitam yang ia bawa.
“Kita mau kemana? Lepaskan Gas! Sakit tau!” aku coba melepaskan tanganku namun cengkraman Agas terlalu kuat. Akhirnya aku menyerah dan ikut dengannya.
Ternyata Agas mengajakku ke rumah makan bumbu wangi, salah satu rumah makan favoritku. Entah hanya kebetulan atau tidak ia tahu apa yang aku suka. Aku duduk lesehan di hadapan Agas dengan wajah cemberutku. Sungguh ini bukanlah diriku yang sesungguhnya.
“Lun, kamu ngga bisa nyembunyiin lagi. Aku tahu kamu yang nulis novel ini kan.  Lun, jujur sama aku apakah isi dari semua kisah yang ada di novel itu benar?”
“ya ampun Gas, itu kan Cuma novel. Cuma karangan fiktif. Aku Cuma ngarang-ngarang aja kok Gas”
“Iya, kamu nulis semuanya Lun. Semua tentang kita. Dan aku tau kamu nulis tentang perasaanmu juga kan? Perasaanmu sama aku. Apa bener diam-diam kamu suka sama aku?” tanya Agas dengan air muka serius.
Iya Gas, diam-diam aku memang suka sama kamu. Jawabku dalam hati.
“Jadi kamu ke Jakarta Cuma mau nanya itu doank Gas? Agas cerita itu tuh fiktif”
“Kamu bohong Lun. Kamu itu tiga tahun jadi sahabat aku. Aku kenal kamu luar dalem Lun. Aku bisa baca mata kamu kalau kamu lagi bohong” aku terdiam. Aku tak bisa menggerakkan lidahku. Tiba-tiba saja tenggorokanku tercekat. Kenapa Agas kembali dengan kondisi yang seperti ini. Tuhan kuatkan aku. Teriakku dalam hati. Aku tak mampu membalas tatapan Agas. Ingin rasanya aku menangis di hadapannya tapi aku gengsi melakukan itu.
“Lun, sekarang Sekar lagi butuh kamu. Sejak sebulan yang lalu dia terbaring di rumah sakit. Dia nungguin kamu. Dia sangat sedih karena kamu menghilang begitu saja. Kamu tak bisa dihubungi. Dia memintaku buat nyari kamu” ucap Agas sambil membolak balik novel yang dipegangnya. Satu kenyataan yang aku tau bahwa dia ke Jakarta bukan untuk mencariku tapi ia hanya diutus oleh Sekar, sahabatku. “Sekar kangker otak Lun” ucapan Agas kali ini benar-benar membuat jiwaku tersentak.
“Apa? Kangker otak?” aku bertanya dengan nada seperti membentak. Aku tak kuat menahan reaksi jiwaku yang bergolak. Sekar selama tiga tahun menjadi sahabatku. Menjadi sahabat aku dan Agas selama SMA.
“Iya dan kangkernya udah stadium empat. Kamu harus ke Jogja Lun. Dia butuh kamu disaat-saat terakhirnya”
“Gas, kita berangkat saat ini juga”
Aku dan Agas segera ke Jojga dengan pesawat saat itu juga. Aku tak bisa membayangkan kondisi sekar saat ini. Aku menyadari betapa jahatnya aku  meninggalkan Sekar sendiri. Membiarkannya menangnggu semua ini seorang diri. Sekar yang sangat baik padaku. Ah kenapa takdir yang seperti ini yang menimpa Sekar. Selama perjalanan, aku banyak berdiam diri. Aku tak memperdulikan Agas. Meskipun aku sangat merindukannya, tapi sekar jauh lebih penting saat ini.
Kami sampai di rumah sakit tepat sekar di rawat tepat jam sembilan pagi.
“Sekar...!” ucapku seraya mengagetkan semua yang ada di kamar Sekar. Aku tak peduli, aku sangat merindukan Sekar. Agas masih mengekor dibelakangku. “Sekar, maafin aku...” ucapku seraya terisak memeluk  Sekar. Tubuhnya benar-benar kurus, wajahnya pucat dan layu. Namun sekar masih cantik persis seperti dulu.
“Luna, aku sangat kangen sama kamu” ucap Sekar dengan suara pelan setengah berbisik. “Ma, Pa, Sekar mau ngomong empat mata sama Luna” Sekar menoleh ke arah orang tuanya. Setelah orang tua sekar keluar kamar, hanya ada aku dan Sekar. Wajahnya mulai terlihat serius. Matanya basah dan meneteskan air mata. Aku tak mengerti kenapa ia bisa begitu. “Lun, maafin aku ya. Aku udah baca novel kamu. Selamatnya akhirnya kamu berhasil juga jadi penulis novel. Aku tau ko dari dulu kamu memang suka sama Agas. Dan maafin aku, aku terlalu egois. Aku ngerebut Agas dari kamu. Padahal jelas-jelas aku tau kalau kalian saling suka, dan kamu malah mengorbankan perasaanmu sendiri buat aku. Aku memang sahabat terkejam yang pernah ada. Dan mungkin ini karma dari semua perbuatanku.....” Sekar masih terisak dalam kata-katanya.
“Cukup Sekar, cukup! Harusnya aku yang minta maaf. Aku udah menghilang dari kalian setahun ini. Maafin aku. Aku lah yang tak pantas jadi sahabat kalian, aku yang.....” belum aku menyelesaikan kata-kataku, Sekar langsung memotong.
“Lun, ini adalah saat-saat terakhirku. Maukah kamu janji sama aku. Jagain Agas buat aku Lun. Aku pengen kisah Pangeran Bintang dan Puteri Langit jadi nyata, menyempurnakan semuanya dan menjadi nyata. Bukan hanya sekedar cerita fiktif”
“jangan ngomong kaya gitu Sekar, kita akan sama-sama terus ko. Sampai nanti, sampai kita tua. Aku ngga akan pergi dari kalian lagi. Kamu jangan tinggalin aku Sekar”
“Aku mohon Lun, janjilah padaku kalau kamu akan jaga pangeran Bintangmu itu. Janjilah padaku Lun....” kali ini aku tak dapat menolak, aku menganggukan kepalaku. Aku tak kuat melihat keadaan Sekar yang semakin melemah. “Tolong panggilkan Agas!” aku bergegas keluar kamar dan memanggil Agas.
“Kenapa Sekar?” tanya Agas dengan sangat lembut.
“Aku tahu gas, dari dulu kamu memang tak pernah mencintaiku. Aku tahu kamu cuma cinta sama Luna. Maafin aku Gas, maafin aku. Kali ini aku takkan egois lagi. Aku bebaskan Pangeran Bintang itu untuk bahagia bersama puteri langit. Makasih Gas atas semua pengorbanan kamu buat aku”
“Lupakan semuanya Sekar, kita mulai dari awal lagi. Persahabatan kita semua. Tak akan ada yang pergi lagi diantara kita. Berjanjilah padaku”
“Tapi aku harus pergi sekarang. Panggilkan mama dan papaku....”
Aku keluar dari ruangan untuk memanggil orang tua Sekar. Aku benar-benar tak kuat melihat kondisi Sekar. Tubuhnya benar-benar lemah. Sementara orangtua sekar berada dalam kamar, aku memecahkan tangisku di luar tunggu. Namun tiba-tiba Agas duduk di sampingku.
“Sekar hanya ingin bersama orang tuanya. Ia tak ingin kita sedih saat-saat terakhirnya”
Kali ini aku tak kuasa menahan tangisku, Agas menarik kepalaku dan menyandarkan ke bahunya. Aku menangis sejadinya di bahu Agas.
Sebulan kemudian.....
Tok tok tok...... ketukan pintu rumahku terdengar  begitu lantang. Sebal sekali aku mendengar. Tamu yang benar-benar tidak sabar. Dengan langkah terburu-buru aku menuruni anak tangga, hampir saja aku jatuh terpleset, namun untunglah Tuhan masih menghendaki aku sehat hari ini. Aku membuka pintu dan alangkah terkejutnya melihat Agas tengah membelakangiku. Membelakangi pintu.
“Agas? Ngapain di Jakarta?”
“Pangeran bintang berkata Duhai puteri langit, maukah kau menghabiskan sisa usiamu untuk hidup bersamaku?” Agas membacakan beberapa potongan kalimat yang terdapat dalam novelku. “Aku tak ingin ada fiktif lagi dalam novelmu. Aku ingin menjadikan seluruh kisahnya nyata. Lun, maukah kau menghabiskan sisa usiamu untuk hidup bersamaku? Aku serius Lun” ucap Agas, matanya melambangkan kalau ia memang benar-benar serius. Aku menatapnya lama, bingung dengan apa yang akan aku katakan. Kemudian aku tertawa sendiri melihat mimik muka Agas yang tampak sangat serius. “Kok ketawa sih?” tanyanya sedikit jengkel.
“Menghabiskan sisa usia? Tua banget sih kata-katanya?” ucapku sambil terkekeh.
“Kan itu sesuai yang ada di novelmu” ucapnya.
“Iya, dalam cerita kan Pangeran Bintang dan puteri langit memang sudah sangat dewasa”
“Luna, maukah kamu jadi pacarku?” ulang Agas sambil menyerahkan setangkai mawar putih. Aku langsung memeluk Agas dan sangat bahagia.