Aku
berdiri di suatu tempat, entah dimana aku pun tak tahu tapi sepertinya tempat
ini tak asing bagiku. Aku terus melangkah mencari pembenaran. Aku penasaran, bahkan
amat sangat. Aku menapaki lantai rumah yang terasa dingin di telapak kaki ini
dan kemudian aku tersadar bahwa aku sedang berada dalam rumahku sendiri, tapi
kenapa semuanya begitu sunyi. Rumahku menjadi sunyi dan berkabut, menyeramkan.
Aku mendapati pintu kamarku terbuka, ada seseorang di dalam sana. Aku berpikir sejenak,
siapa yang berani masuk ke dalam kamarku tanpa seizinku? Aku paling tidak suka
dengan orang yang mengganggu privasiku termasuk Mbok Isah, termasuk pula papa. Aku
paling tidak suka ada orang yang berani menyentuh barang-barangku.
Aku
terus mendekati pintu kamar. Seketika aroma busuk tercium dari dalam kamarku.
Aku semakin garam, apa yang sedang dilakukan seseorang di dalam sana. Aku
semakin mendekat dan bau itu semakin menyengat. Aku semakin marah. Aku
mempercepat langkahku, tapi aku tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarku dan
bau busuk itu masih tercium bahkan semakin menjadi-jadi. Aku mencari dimana
sumber bau itu, mungkinkah sebuah telur busuk, atau kotoran kucing tapi bau ini
terasa aneh. Seperti bau anyir borok yang menjijikan. Baunya seperti nanah yang
membusuk. Aku semakin kesal pada diriku sendiri. Dimana sumber bau itu? Bagaimana
bisa bau itu begitu terasa menyengat? Padahal jelas-jelas Mbok Isah selalu
membersihkan kamar tidurku setiap hari. Dengan berjalannya waktu, bau itu
semakin menyengat, aku menutup hidungku rapat-rapat. Ingin sekali aku keluar
dari kamarku, namun aku tak bisa. Aku sungguh ingin tau bau apa sebenarnya ini?
Aku terus melangkah mencari. Aku mendongakan kepalaku ke kolong tempat tidur,
tapi nihil.
Hal
yang hampir membuat jantungku keluar dari tempatnya, aku melihat sebuah
bayangan dalam cermin besar meja hiasku. Sosok itu begitu menjijikan, seluruh
tubuhnya penuh dengan borok. Bajunya hampir basah oleh nanah-nanah yang menetes
dari borok-borok itu. Sangat mengerikan. Namun aku sosok itu hanya ada dalam
bayangan cermin. Aku bertanya dalam hati siapa dia? Namun ada hal yang
membuatku terperenjat. Sekilas aku lebih perhatikan sosok itu lebih teliti, aku
kaget luar biasa. Aku menelungkupkan tanganku dan menutup mulutku sendiri.
Sosok itu adalah diriku sendiri. Tidak! Ini semua pasti salah. Aku tidak
mungkin bersosok seperti itu? Tidak! Aku yakin aku salah lihat. Sosok itu
bukanlah bayanganku. Aku menatap sosok itu lebih teliti lagi, sialnya sosok itu
memang sangat mirip denganku. Itu seperti bayanganku sendiri.
Aku
meraba seluruh bagian tubuhku, baik-baik saja. Kulit tubuhku masih sangat halus
namun dalam bayangan itu aku begitu menjijikan.
“Siapa
kamu?” tanyaku dengan terbata-bata. Ini seperti dalam mimpi. Aku mencubit pipi
dan lenganku, sakit. Aku meyakinkan bahwa ini adalah mimpi, namun percuma ini
nyata. “Hey, kamu siapa? Apa yang sedang kau lakukan di kamarku?” tanyaku
sekali lagi. Bayangan itu tersenyum kepadaku. Aku tidak mengerti, apa yang
sedang terjadi padaku saat ini? Apakah aku sedang bermimpi, berhalusinasi atau
apa? Aku semakin limbung.
“Aku
adalah kamu” ucapnya. Suaranya mirip dengan suaraku. Dia benar-benar seperti
diriku.
“Aku
tidak punya sosok seperti mu. Menjijikan” aku bergidik melihat bayangan yang
mirip denganku itu. Baunya masih menyengat.
“Aku
adalah kamu dan dosa-dosamu” bayangan itu berucap dengan sangat tenang dan aku
sangat terganggu dengan kehadirannya.
“Apa
maksudmu? Tunggu sebentar, apa kau bilang barusan? Dosa? Apa itu dosa?” aku
bertanya seolah aku adalah orang paling bodoh di dunia. Siapapun pasti tau dosa
itu apa meskipun dosa tak berbentuk. Dosa itu abstrak.
“Raina,
kau bukan orang bodoh. Apa perlu aku tunjukkan padamu semua dosa yang telah kau
perbuat selama ini? Baiklah aku akan menunjukkannya padamu” sungguh ajaib,
sosok itu menyihir cermin riasku menjadi seperti televisi dengan layar lebar.
Ia mempertunjukkan semua perbuatan-perbuatanku beberapa tahun belakangan ini.
“Kau
mewarnai seluruh harimu dengan perbuatan dosa. Kau takkan merasakan imbas dari
dosa itu. Karena dosa adalah konsep abtrak, tapi ia ada. Lihatlah aku yang
sangat menjijikan ini. Sesungguhnya aku adalah dirimu. Aku adalah dirimu Raina.
Aku menjijikan karena semua perbuatan dosa-dosamu. Aku adalah kamu, Raina”
“Sebenarnya
kamu siapa? Aku tidak kenal kamu dan lebih baik kamu tidak usah ikut campur
dengan urusanku. Sekarang pergi kamu dari sini, pergi.....!!!” aku berteriak
sekencang-kencangnya.
“Raina,
pertanyaanmu itu tak guna. Aku yakin kau tau semua jawaban atas pertanyaanmu.
Kau bilang aku tidak usah ikut campur dalam urusanmu? Kau salah Raina, tentu
saja aku ikut campur karena aku adalah dirimu. Raina apa yang terjadi dengan
dirimu? Kau berubah semenjak ayahmu meninggal dunia dalam kecelakaan hebat itu.
Kau putus asa? Aku tau kamu adalah anak yang baik. Oke kalau begitu aku akan
menunjukkan kalau kau adalah anak yang baik” sosok itu semakin aneh dan
menjadi-jadi. Aku tak mengerti apa maunya. Ia kembali menyulap cermin riasku
dan menunjukkan ambar-gambar kecilku waktu dahulu. Kenapa ia begitu tau.
“Raina
kecil, menggelayut dalam gendongan ayah. Sholat bersama ayah. Mengaji. Raina
kecil menenteng buku iqra’ yang dibelikan ayah. Membaca dengan sepenuh hati
dengan tuntunan ayah. Kemudian tertawa sejenak dan memeluk ayah dengan penuh
cinta. Raina kecil memakai mukena, ayah yang merapikan mukena Raina yang miring
kemana-mana. Raina kecil yang tak beribu menjadikan ayah berperan ganda sebagai
ayah dan ibu. Ketika Raina mulai tumbuh dewasa. Raina gelisah mengkhawatirkan ayah
karena ayah belum pulang dari kantor. Raina mengambil mushaf dan melafalkan
bacaan-bacaan Al-Qur’an. Ditengah malam Raina terbangun untuk shalat tahajud.
Raina berdoa untuk dirinya dan untuk ayah. Raina memohon kebahagiaan dunia dan
akhirat. Raina semakin tumbuh dewasa. Raina berpuasa dan berbuka puasa dengan
ayah tercinta. Seperti itulah Raina. Hingga pada suatu malam, Raina harus
kehilangan ayah. Raina limbung dan terjatuh. Raina terpuruk. Raina
menenggelamkan kehidupan bersama teman-teman baru Raina. Dengan perasaan putus
asa, Raina melemparkan rasa sedihnya, berpesta dengan setan-setan yang dulu
dikutuknya. Namun kini setan-setan itu menjadi sahabat baru Raina. Pegangan
Raina bukan Al-Qur’an lagi, tapi alkohol. Raina yang dulu sering menyendiri dan
membaca mushaf kini beramai-ramai dan berdisko. Raino merokok. Raina mulai
senang bermain-main dengan jarum suntik. Ya semua itu Raina lakukan untuk
menguapkan kesepianmu kan?. Raina, kau jatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kehidupan kelam dan aku adalah dirimu saat ini”
“Kenapa
kau begitu menyebalkan. Pergi kau dari dalam kamarku, pergii....!!!” aku marah
tak terperikan. Lagipula kenapa bayangan itu berani sekali mencampuri hidupku. Aku
hanya marah pada kehidupan yang mulai tak adil ini. Aku marah karena Tuhan
telah mengambil ibu dan ayahku. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku sebatang
kara.
“Apakah
kau mau tau apa yang sedang terjadi dengan ayahmu saat ini Raina?”
“Ayah?
Apa yang sedang terjadi dengan ayah?” tanyaku ingin tahu.
“Lihatlah
ia” sosok itu kembali menyihir cermin hiasku menjadi LCD ukuran besar. Aku
ternganga melihat ayah disiksa oleh kedua makhluk berjubah hitam. Ayah merintih
kesakitan, ayah mengeram dan berteriak, ayah begitu menderita. Tapi kenapa tak
ada yang menghiraukan ayah. Aku menangis tersedu, kondisi ayah begitu
menyedihkan. Aku teriak histeris.
“Hentikan,
hentikaaaan....!” aku tak mampu lagi manahan amarahku. Keterlaluan. Kenapa
mereka menyiksa ayah di sana. Bukankah ayah orang baik. Ayah yang selalu
mengajariku mengaji waktu kecil.
“Ayahmu
di siksa itu karena dosa-dosamu Raina. Kau masih sangat belia, dosamu masih
ditanggung oleh ayahmu”
“Hentikan,
hentikan! Jangan siksa ayahku lagi...” aku terjatuh di lantai. Kini aku
menyesal dengan semua yang telah aku lakukan. “Maafkan aku, ampuni aku Ya
Allah” rasa penyesalan yang begitu hebat, merayap dalam tubuhku. Aku menyadari
betapa menjijikannya aku saat ini. Bau busuk itu masih tercium. Aku menatap
bayangan itu, jelmaanku sendiri. Ia tampak begitu menjijikan. Itukah gambaran
diriku saat ini.
“Apa
yang harus aku lakukan?”
“Kau
harus segera bertobat. Basuhlah dirimu dengan tobat nasuha. Lihatlah dirimu, kau
sudah tak berbentuk lagi. Kau bahkan tak sudi melihat wujudmu yang begitu hina
dan menjijikan ini. Lihatlah Raina, lihatlah!”
Aku
tak berani menatap cermin itu lagi, aku benar-benar sangat menjijikan. Aku
menangis menyesali seluruh dosa-dosaku. Aku menangis hingga dadaku terasa
begitu sakit.
“Non
Raina, bangun non” suara Mbok Isah terdengar sangat jelas seraya menepuk-nepuk
pipiku. Aku membuka mataku perlahan dan kusadari kepalaku terasa begitu berat.
“Alhamdulillah, Non sadar juga. Tadi pagi Non pingsan di depan pintu rumah”
Aku
mulai ingat apa yang sedang terjadi, tadi malam aku baru saja mabuk dengan teman-teman
genk baruku. Aku bangkit dari tepat tidur dan memeluk Mbok Isah sambil terisak.
Aku tak punya siapa-siapa lagi. Hanya Mbok Isah yang tersisa dalam hidupku.
Mulai saat ini aku akan bertobat dan memperbaiki hidupku. Mimpi itu benar-benar
nyata bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar