Seperti
hari biasanya, kami The Flower siap rekaman lagu baru yang akan menjadi single
kedua dalam album amatir kami. Band yang didirikan sekitar dua tahun yang lalu
ini sudah berhasil menciptakan 7 lagu yang baru bisa dinikmati oleh siswa-siswa
SMAN 1 LA tempat dimana aku menuntut ilmu. Akhir bulan lalu, kami memang sudah
mempromosikan lagu-lagu kami ke beberapa radio lokal namun belum ada tanda-tanda
hasil yang menunjukan apa pun. Aku pastikan semua warga SMAN 1 LA pasti mengenalku.
Lagu-lagu kami memang lumayan banyak disukai di sekolah. Dan tak jarang kami
mengisi acara besar di sekolah.
Dengan
langkah tergesa-gesa, aku membanting tas kesayanganku ke sofa. Siang ini memang
terasa sangat panas. Hanya ada aku dan Berta sang keyboardist di ruangan studio
sempit ini. Studio yang kami bangun dengan jerih payah kami. Sebagian besar
ayah Dea lah yang berkontribusi membangun ruang studio yang gelap dan pengap
ini.
“Yang
lain kemana?” tanya Berta sambil melirik kearahku. Keringatnya yang sebesar
biji jagung berkumul di keningnya yang putih itu.
“Lagi
pada beli minum di luar” ucapku seadanya sambil kipas-kipas dengan kertas koran.
“Nih”
Berta mengulurkan air mineral yang tergenggam di tangannya. Aku hanya bisa
menyerobot minuman itu dengan rakus. Sejak 3 jam yang lalu tenggorokanku memang
sudah seperti padang pasir. Tercekik haus.
“Thanks”
kataku kemudian meneguk air mineral itu. Aku dan Berta memang sudah seperti
sahabat. Ia sangat baik dan perhatian padaku. Oh tidak, aku rasa ia sangat
perhatian pada semua orang apa lagi kami personil The Flower. The Flower adalah
sebuah band kecil terdiri dari Berta sebagai pemain keyboard, aku memegang bas,
Dea sebagai vokal, Gerald sebagai pemain drum, Fuad di melodi dan Ola di
Rithem. Entah bagaimana awalnya kami dipersatukan dalam The Flower tapi yang
pasti untuk saat ini persahabatan kami begitu akrab.
“Hey,
kalian udah datang tho” kata Fuad yang tiba-tiba nongol dari balik pintu.
Tiba-tiba wajahnya memucat aku menebak bahwa ia akan berbicara serius kali ini.
“Kalian tau ga sih kita sekolah kan tinggal 2 bulan lagi. Aku ga tau apakah aku
bisa bertahan di Shaula lebih lama atau tidak. Soalnya kemarin orang tuaku
sudah mulai membicarakan tentang masa depan ku. Aku harus kuliah di Purwekerto”
Fuad memejamkan matanya. Maka kini giliran wajahku yang memucat. Iya, Ujian Nasional
akan dilaksanakan dalam jangka waktu dua bulan lagi. Tak terasa waktu semakin
dekat dengan perpisahan. Dan jauh berbulan-bulan yang lalu, aku sudah
menyiapkan rencanaku untuk kuliah di Bogor. Maka aku pun sama dengan Fuad aku
harus meninggalkan Shaula.
“Sama
Ad. Aku juga harus kuliah. Huft....” ucapku sambil menghempaskan napas
dalam-dalam. Aku tertunduk sedih, tak bisa kubayangkan ketika aku akan berpisah
dengan teman-teman The Flower yang selama ini sangat berarti dalam hidupku. Aku
ingat sekali ketika kami mengalami suka dan duka, ketika kami berjuang susah
payah mencari dana untuk membangun studio, kemudian kami tawarkan lagu-lagu
kami ke radio-radio bahkan tidak jarang radio-radio itu mengusir kami dan
membentak-bentak kami karena menurutnya lagu kami jelek,
“Hey,
kok malah pada hening gini sih. Ayo kita
latihan” teriak Dea yang baru saja datang bersama Ola dan Gerald ayo donk
semangat” sambung Dea.
Kami
semua bangkit dan mengambil alat musik masing-masing. Tapi setelah beberapa
kali main, Dea malah tak berkonsentrasi padahal dia yang menyeru kepada kami
supaya bersemangat namun nyatanya dia sendiri yang tak bersemangat. Menjilat
ludah sendiri, kataku dalam hati.
“Kamu
kenapa sih De?” Fuad mulai kesal dengan keadaan Dea yang gusar sejak tadi.
“Sori
Ad perutku sakit. Hari pertama aku mens soalnya” Dea memegangi perutnya yang
kesakitan. Namun kami tau sakitnya tak terlalu serius jadi sepertinya tak perlu
ada tindakan yang serius pula.
“Yu
udah kalau emang keadaannya kaya gitu berarti gak bisa dipaksain kayaknya.
Soalnya mau dipaksain juga percuma kan. Latihannya cukup sampai disini aja”
Fuad ngeloyor sambil menaruh Gitar melodi kesayangannya sekilah ia tampak marah
pada Dea namun dari raut mukanya sejak baru datang tadi aku tau ada yang ngga
beres dengannya.
“Kenapa
tuh anak?” tanya Ola.
“Biarkan
saja sepertinya dia sedang ada masalah pribadi. Soalnya tadi waktu baru datang
ia tampak kusut dan lelah. Ya sudah kita pulang saja yuk”
“Berta,
kau bisa antar aku pulang ngga? Kayaknya aku ngga bisa pulang sendiri nih” Dea
berjalan mendekati Berta yang tengah siap-siap mencangklong tas kesayangannya.
“Maaf
De, aku sedang buru-buru sekarang. Aku harus ke galeri pamanku. Ditunggu
setengah jam lagi. Kau pulang bersama Gerald saja. Tak apa kan?”
“Ouh
baiklah” sepertinya Dea agak kecewa. Sambil menahan perutnya yang nyeri Dea mendengus
kesal.
Aku
sendiri masih tak ingin pulang. Aku masih ingin di sini. Studio inilah
sebenarnya yang kadang membuatku berhasil menciptakan lagu-lagu baru. Rumahku
memang tak bersahabat denganku, betapa sebal dan membosankannya di sana. Semua
telah pergi. Hanya tersisa aku sendiri di sini. Aku sendiri bingung apa yang
akan aku lakukan. Dengan langkah kecil mendekati keayboard. Dulu mama sering
mengajarkanku memainkan piano. Aku mencoba menyentuh tuts-tuts piano dengan jari-jari mungilku, tiba-tiba aku rindu
dengan mama ku. Dengan perasaan tidak sadar aku memainkan lagu yang dulu pernah
diajarkan mama, aku pun sempat meneteskan air mata. Aku larut dalam permainanku
sendiri hingga akhirnya aku tersadar ada seseorang yang bertepuk tangan ketika
aku selesai memainkan lagu itu.
“Sejak
kapan kamu ada di sini?”
“Tak
lama kok. ada sesuatu yang ketinggalan. Ini...” kata Berta mengambil topi
coklatnya. “Kamu kenapa?” tanya Berta saat ia melihat mataku yang memerah.
“Tidak
apa-apa. Aku hanya sedang rindu pada ibuku”
“Hm....
ikut aku yuk”
“Kemana?”
Berta tak menjelaskan kemana kita akan pergi. Aku hanya bisa pasrah. Di dalam
mobil kami saling terdiam. Aku larut dengan lamunanku sendiri begitu pun dengan
Berta. Namun tiba-tiba ponselku berdering.
“Halo
Ken” ucapku sambil mendekatkan ponsel ke telingaku. “Kayaknya ngga ada deh,
kenapa?” aku melirik ke arah Berta, dia tampak serius mengemudi. “Oke deh besok
sepulang sekoah ya aku tunggu. Bye...” aku menutup ponselku dan memasukannya ke
dalam tas ku.
“Sudah
berapa lama kamu jadian dengan Ken?”
“Tiga
tahun”
“Kau
mencintainya? Ah maaf. Pasti kamu sangat mencintainya”
“Yah
ku harap begitu. Ah sudahlah. Ouh ya setelah lulus SMA kau mau kuliah dimana?”
“Aku
mau ke Padang. Ibuku ada di sana. Dan mungkin aku akan mencari pekerjaan di
sana. Kamu udah pasti kuliah ke Bogor?”
“Aku
harap aku bisa di terima di sana”
“Sudah
pasti. Kau kan pintar” aku tak mengerti apa yang ada dipikiran Berta. Aku
pintar? sejak kapan? Hm... padahal jelas-jelas dia yang jenius. Ah Berta selalu
merendah. Mobil Berta berhenti di lapangan parkir sebuah galeri lukisan. “Turun
yuk..!” sambungnya.
Ake
berdecak kagum ketika menginjakan kakiku di lantai galeri ini hingga tak aku
sadari langkahku tertinggal jauh oleh langkah Berta. Berta menarik tanganku dan
membuyarkan lamunanku.
“Aduh
Berta, kenapa mesti buru-buru sih? Aku kan mau lihat-lihat dulu”
“Kita
harus bertemu dengan pamanku. Kita udah telat” Berta berjalan setengah berlari.
“Apa urusannya denganku? Bukankah itu urusanmu?”
tanyaku. Langkah Berta berhenti mendadak.
“Iya
yah. Ya sudah kamu tunggu di sini. Jangan kemana-kemana. Oke”
“Jangan
lama-lama yah” Berta mengangguk dan berjalan menjauh. Aku menunggu Berta sambil
melihat-lihat beberapa lukisan yang terpampang di dinding-dinding lobi. Ada
sebuah lukisan yang membuatku tak ingin berhenti untuk menatapnya. Aku tak
ingin memalingkan wajahku dari lukisan ini. Melihatnya membuatku begitu tenang
dan damai. Aku ingin membawanya pulang, tapi rasanya tidak mungkin. Aku yakin
lukisan ini pasti sangat mahal bahkan ada lukisan yang harganya ratusan juta
rupiah. Ah andai saja aku punya banyak uang maka akan ku bawa pulang lukisan
itu. Berta tiba-tiba muncul dan menepuk punggungku. Aku kaget dan berbalik ke
arahnya.
“Ih
kamu bikin aku kaget tau. Aku kira kamu hantu” ucapku sambil mengatur napas.
Entahlah tepukan Berta benar-benar membuatku
shock.
“Sejak
kapan ada hantu dengan tampang ganteng kaya gini? Hm... ada apa dengan lukisan
ini?”
“Aku
suka. Suka banget. Pengen bawa pulang tapi impossibble
banget deh kayanya” ucapku sambil terus menatap lukisan ini.
“Kenapa
kamu suka lukisan ini?”
“Lukisan
ini bikin aku tenang. Membuatku tak ingin meninggalkan tempat ini. kenapa aku
jadi kaya gini ya?”
“Tau
deh.... kamu kaya yang terhipnotis aja”
“Iya
kamu bener. Aku terhipnotis oleh lukisan ini”
“Ah
udahlah ayo, aku mau nraktir kamu makan. Mau ga?”
“Setuju...”
aku ga akan menolak pada siapapun yang akan mentraktirku makan, secara
gratisan.
Di
Grage mall cirebon, mobil Berta terparkir dengan rapi. Kami berdua masuk ke
dalam mall. Selintas kami terlihat seperti pasangan kekasih. Ah ini adalah kali
pertamanya aku dan Berta jalan berdua biasanya kami jalan berlima atau berenam.
Berta cukup tampan sih, bahkan sebenarnya dia itu cool, jenius pula. Ah sayang
sekali kenapa dia belum punya cewek. Andai aku bisa jadi ceweknya,
bahagianya...... hm.... aku mulai berafikir yang ngga ngga deh. Habis bagaimana
lagi, bener deh Berta itu perfect
banget. Tapi baiklah aku sudah punya Ken. Ken sudah cukup baik padaku. Meskipun
kami jarang kontak karena Ken terlalu disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikulernyanya
dan aku pula sibuk dengan The Flower jadi kami jarang sekali ketemu atau jalan
bareng.
“Makan
dulu, terus kita nonton” ucap Berta. Aku kaget, nonton?
“Nonton?”
tanyaku pada Berta. Aku mendongakan kepalaku tepat di depan wajahnya. Aku kaget
sekali ketika menyadari posisi ku sangat dekat dengannya.
“Iya.
Kenapa?” jawabnya sambil tersenyum.
“Ah
ngga kenapa-kenapa” jawabku sambil menjauhi wajahnya. Aku ingin bertanya lebih lanjut, namun kuurungkan
niatku.
Setelah makan dan merasa kenyang,
kami membeli dua tiket nonton.
“Berta,
aku ke toilet dulu ya. Kamu duluan aja, nanti aku nyusul” ucapku pada Berta dan
dia mengangguk. Sebelum nonton biasanya aku buang air kecil terlebih dahulu
biar ngga kebelet di tengah pas nonton, soalnya diruangan berAC biasanya aku
akan sering tak kuasa menahan buang air kecil. Suasana ruangan bioskop pun
sudah dibuka dan masih sangat sepi. Aku melangkah masuk ke ruangan bioskop
menyusul Berta dan aku begitu terkejut luar biasa. Dadaku tiba-tiba terasa
sesak. Seketika Berta memelukku dari samping dan menutup mataku dengan
tangannya. Aku tak kuat melihatnya. Berta segera menarikku dan keluar dari
ruangan bioskop. Aku tak bisa menahan air mataku.
“Berta,
bisa anter aku pulang?” tanyaku padanya dengan perasaan sangat kacau. Ah aku sudah
tak bisa berfikir apa-apa lagi. Aku segera masuk mobil dan Berta pun sangat
mengerti dengan keadaanku.
“Pulang?”
“Ke
rumah Ola. Aku ga bisa sendirian”
“Halo
Ola, kamu ada di rumah?. Oke, aku sama Saski mo ke rumah kamu. Kamu jangan
kemana-mana ya” ucap Berta lewat ponselnya. Ia memastikan agar Ola benar ada di
rumah.
“Thanks
ya” air mataku masih belum mau berhenti mengalir. Ah begitu sakit rasanya. Ken
berciuman dengan wanita litu. Aku sering melihat wajah wanita itu, dia memang
salah satu aktivis OSIS. Tapi aku tak tau siapa namanya.
Sesampainya
dirumah Ola, aku langsung memeluknya. Dan Ola menyambut pelukannku.
“Kenapa
Sas?” tanya Ola. Aku tak menjawab. Dan Berta pun tetap diam.
“Ke
taman belakang aja La. Saski lagi butuh temen. Jiwanya lagi terguncang“ kami bertiga melangkah menuju taman belakang.
Aku melangkah tetap dalam pelukan Ola an Berta berjalan di belakang kami.
“Kenapa
Sas, cerita donk” tanya Ola yang nampaknya sangat penasaran.
“Tadi
kita liat Ken sama Helena ciuman di bioskop” jawab Berta.
“Apa?
Ken sama Helena? Kurang ajar banget sih tuh anak” kata Ola garang.
Aku
mencoba menenangkan diriku sendiri. Menghapus air mataku dan menarik napasku
dalam-dalam.
“Udah
lah, mungkin ini sudah waktunya. Dari dulu aku udah ngerasa ada yang beda dari
Ken. Apalagi semenjak masuk OSIS dia nampak beda. Dan mungkin ini jawaban dari
pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Kalian ngga usah khawatir. Aku baik-baik
saja kok” ucapku seraya mencoba tersenyum pada kedua sahabatku itu.
Tiga bulan kemudian
Aku
telah memutuskan hubungan dengan ken. Hubungan itu memang sudah tidak dapat
dipertahankan lagi. Sakit hatiku sudah mulai menghilang, lagipula selama ini
pun sebenarnya aku tak terlalu mengharapkan Ken. Aku tak pernah menganggap Ken
spesial.
Saski,
ada paket tuh buat kamu” seru ayah dari lantai dasar. Aku sangat penasaran paket apaan? Dari siapa pula? aku
menuruni anak tangga rumah dengan perasaan deg-degan dan penasaran. Aku melihat sebuah benda persegi panjang dengan
luas 1 m2 tergeletak dekat kursi rumah. Benda itu dibungkus dengan
kertas berwarna coklat. Aku menyobek kertas itu dan alangkah terkejutnya benda
itu adalah lukisan yang pernah aku lihat di galery milik paman Berta. Aku juga menemukan amplop Biru muda di dalam
lukisan itu.
Aku ngga jadi jual
lukisan ini sejak kamu bilang kalau kamu sangat menyukai lukisan ini. Aku sadar lukisan ini sangat berharga bagiku
karena ini adalah lukisan pertamaku selain itu aku melukis ini dengan bimbingan
ayahku sebelum ia meninggal. Intinya aku tak ingin melepaskan Lukisan ini.
Namun aku titipkan lukisan ini kepadamu hingga suatu hari disaat aku sudah siap
aku akan menjemput lukisan ini dan menjemputmu. Aku sayang kamu Saski
Berta
Baratha.
Aku
meneteskan air mata sembari memeluk kertas surat itu. Aku tak menyangka Berta menyayangi dan
mencintaiku. Sudah lama aku memendam perasaan untuk Berta namun aku tak berani
berbuat apa-apa. Setelah tau Berta naksir gadis lain yang aku pun tak tau siapa
gadis itu akhirnya aku memutuskan untuk menerima Ken yang selama ini meminta
cintaku. Namun aku tau Berta tak pernah dekat dengan cewek manapun. Kini aku
tau Berta berada di Padang. Dan entah kapan ia akan kembali. Namun aku yakin
Berta akan menjemputku dan menepati janjinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar