Sabtu, 21 April 2012

The Flower

Seperti hari biasanya, kami The Flower siap rekaman lagu baru yang akan menjadi single kedua dalam album amatir kami. Band yang didirikan sekitar dua tahun yang lalu ini sudah berhasil menciptakan 7 lagu yang baru bisa dinikmati oleh siswa-siswa SMAN 1 LA tempat dimana aku menuntut ilmu. Akhir bulan lalu, kami memang sudah mempromosikan lagu-lagu kami ke beberapa radio lokal namun belum ada tanda-tanda hasil yang menunjukan apa pun. Aku pastikan semua warga SMAN 1 LA pasti mengenalku. Lagu-lagu kami memang lumayan banyak disukai di sekolah. Dan tak jarang kami mengisi acara besar di sekolah.
Dengan langkah tergesa-gesa, aku membanting tas kesayanganku ke sofa. Siang ini memang terasa sangat panas. Hanya ada aku dan Berta sang keyboardist di ruangan studio sempit ini. Studio yang kami bangun dengan jerih payah kami. Sebagian besar ayah Dea lah yang berkontribusi membangun ruang studio yang gelap dan pengap ini.
“Yang lain kemana?” tanya Berta sambil melirik kearahku. Keringatnya yang sebesar biji jagung berkumul di keningnya yang putih itu.
“Lagi pada beli minum di luar” ucapku seadanya sambil kipas-kipas dengan kertas koran.
“Nih” Berta mengulurkan air mineral yang tergenggam di tangannya. Aku hanya bisa menyerobot minuman itu dengan rakus. Sejak 3 jam yang lalu tenggorokanku memang sudah seperti padang pasir. Tercekik haus.
“Thanks” kataku kemudian meneguk air mineral itu. Aku dan Berta memang sudah seperti sahabat. Ia sangat baik dan perhatian padaku. Oh tidak, aku rasa ia sangat perhatian pada semua orang apa lagi kami personil The Flower. The Flower adalah sebuah band kecil terdiri dari Berta sebagai pemain keyboard, aku memegang bas, Dea sebagai vokal, Gerald sebagai pemain drum, Fuad di melodi dan Ola di Rithem. Entah bagaimana awalnya kami dipersatukan dalam The Flower tapi yang pasti untuk saat ini persahabatan kami begitu akrab.
“Hey, kalian udah datang tho” kata Fuad yang tiba-tiba nongol dari balik pintu. Tiba-tiba wajahnya memucat aku menebak bahwa ia akan berbicara serius kali ini. “Kalian tau ga sih kita sekolah kan tinggal 2 bulan lagi. Aku ga tau apakah aku bisa bertahan di Shaula lebih lama atau tidak. Soalnya kemarin orang tuaku sudah mulai membicarakan tentang masa depan ku. Aku harus kuliah di Purwekerto” Fuad memejamkan matanya. Maka kini giliran wajahku yang memucat. Iya, Ujian Nasional akan dilaksanakan dalam jangka waktu dua bulan lagi. Tak terasa waktu semakin dekat dengan perpisahan. Dan jauh berbulan-bulan yang lalu, aku sudah menyiapkan rencanaku untuk kuliah di Bogor. Maka aku pun sama dengan Fuad aku harus meninggalkan Shaula.
“Sama Ad. Aku juga harus kuliah. Huft....” ucapku sambil menghempaskan napas dalam-dalam. Aku tertunduk sedih, tak bisa kubayangkan ketika aku akan berpisah dengan teman-teman The Flower yang selama ini sangat berarti dalam hidupku. Aku ingat sekali ketika kami mengalami suka dan duka, ketika kami berjuang susah payah mencari dana untuk membangun studio, kemudian kami tawarkan lagu-lagu kami ke radio-radio bahkan tidak jarang radio-radio itu mengusir kami dan membentak-bentak kami karena menurutnya lagu kami jelek,
“Hey, kok malah  pada hening gini sih. Ayo kita latihan” teriak Dea yang baru saja datang bersama Ola dan Gerald ayo donk semangat” sambung Dea.
Kami semua bangkit dan mengambil alat musik masing-masing. Tapi setelah beberapa kali main, Dea malah tak berkonsentrasi padahal dia yang menyeru kepada kami supaya bersemangat namun nyatanya dia sendiri yang tak bersemangat. Menjilat ludah sendiri, kataku dalam hati.
“Kamu kenapa sih De?” Fuad mulai kesal dengan keadaan Dea yang gusar sejak tadi.
“Sori Ad perutku sakit. Hari pertama aku mens soalnya” Dea memegangi perutnya yang kesakitan. Namun kami tau sakitnya tak terlalu serius jadi sepertinya tak perlu ada tindakan yang serius pula.
“Yu udah kalau emang keadaannya kaya gitu berarti gak bisa dipaksain kayaknya. Soalnya mau dipaksain juga percuma kan. Latihannya cukup sampai disini aja” Fuad ngeloyor sambil menaruh Gitar melodi kesayangannya sekilah ia tampak marah pada Dea namun dari raut mukanya sejak baru datang tadi aku tau ada yang ngga beres dengannya.
“Kenapa tuh anak?” tanya Ola.
“Biarkan saja sepertinya dia sedang ada masalah pribadi. Soalnya tadi waktu baru datang ia tampak kusut dan lelah. Ya sudah kita pulang saja yuk”
“Berta, kau bisa antar aku pulang ngga? Kayaknya aku ngga bisa pulang sendiri nih” Dea berjalan mendekati Berta yang tengah siap-siap mencangklong tas kesayangannya.
“Maaf De, aku sedang buru-buru sekarang. Aku harus ke galeri pamanku. Ditunggu setengah jam lagi. Kau pulang bersama Gerald saja. Tak apa kan?”
“Ouh baiklah” sepertinya Dea agak kecewa. Sambil menahan perutnya yang nyeri Dea mendengus kesal.
Aku sendiri masih tak ingin pulang. Aku masih ingin di sini. Studio inilah sebenarnya yang kadang membuatku berhasil menciptakan lagu-lagu baru. Rumahku memang tak bersahabat denganku, betapa sebal dan membosankannya di sana. Semua telah pergi. Hanya tersisa aku sendiri di sini. Aku sendiri bingung apa yang akan aku lakukan. Dengan langkah kecil mendekati keayboard. Dulu mama sering mengajarkanku memainkan piano. Aku mencoba menyentuh tuts-tuts piano  dengan jari-jari mungilku, tiba-tiba aku rindu dengan mama ku. Dengan perasaan tidak sadar aku memainkan lagu yang dulu pernah diajarkan mama, aku pun sempat meneteskan air mata. Aku larut dalam permainanku sendiri hingga akhirnya aku tersadar ada seseorang yang bertepuk tangan ketika aku selesai memainkan lagu itu.
“Sejak kapan kamu ada di sini?”
“Tak lama kok. ada sesuatu yang ketinggalan. Ini...” kata Berta mengambil topi coklatnya. “Kamu kenapa?” tanya Berta saat ia melihat mataku yang memerah.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedang rindu pada ibuku”
“Hm.... ikut aku yuk”
“Kemana?” Berta tak menjelaskan kemana kita akan pergi. Aku hanya bisa pasrah. Di dalam mobil kami saling terdiam. Aku larut dengan lamunanku sendiri begitu pun dengan Berta. Namun tiba-tiba ponselku berdering.
“Halo Ken” ucapku sambil mendekatkan ponsel ke telingaku. “Kayaknya ngga ada deh, kenapa?” aku melirik ke arah Berta, dia tampak serius mengemudi. “Oke deh besok sepulang sekoah ya aku tunggu. Bye...” aku menutup ponselku dan memasukannya ke dalam tas ku.
“Sudah berapa lama kamu jadian dengan Ken?”
“Tiga tahun”
“Kau mencintainya? Ah maaf. Pasti kamu sangat mencintainya”
“Yah ku harap begitu. Ah sudahlah. Ouh ya setelah lulus SMA kau mau kuliah dimana?”
“Aku mau ke Padang. Ibuku ada di sana. Dan mungkin aku akan mencari pekerjaan di sana. Kamu udah pasti kuliah ke Bogor?”
“Aku harap aku bisa di terima di sana”
“Sudah pasti. Kau kan pintar” aku tak mengerti apa yang ada dipikiran Berta. Aku pintar? sejak kapan? Hm... padahal jelas-jelas dia yang jenius. Ah Berta selalu merendah. Mobil Berta berhenti di lapangan parkir sebuah galeri lukisan. “Turun yuk..!”  sambungnya.
Ake berdecak kagum ketika menginjakan kakiku di lantai galeri ini hingga tak aku sadari langkahku tertinggal jauh oleh langkah Berta. Berta menarik tanganku dan membuyarkan lamunanku.
“Aduh Berta, kenapa mesti buru-buru sih? Aku kan mau lihat-lihat dulu”
“Kita harus bertemu dengan pamanku. Kita udah telat” Berta berjalan setengah berlari.
“Apa  urusannya denganku? Bukankah itu urusanmu?” tanyaku. Langkah Berta berhenti mendadak.
“Iya yah. Ya sudah kamu tunggu di sini. Jangan kemana-kemana. Oke”
“Jangan lama-lama yah” Berta mengangguk dan berjalan menjauh. Aku menunggu Berta sambil melihat-lihat beberapa lukisan yang terpampang di dinding-dinding lobi. Ada sebuah lukisan yang membuatku tak ingin berhenti untuk menatapnya. Aku tak ingin memalingkan wajahku dari lukisan ini. Melihatnya membuatku begitu tenang dan damai. Aku ingin membawanya pulang, tapi rasanya tidak mungkin. Aku yakin lukisan ini pasti sangat mahal bahkan ada lukisan yang harganya ratusan juta rupiah. Ah andai saja aku punya banyak uang maka akan ku bawa pulang lukisan itu. Berta tiba-tiba muncul dan menepuk punggungku. Aku kaget dan berbalik ke arahnya.
“Ih kamu bikin aku kaget tau. Aku kira kamu hantu” ucapku sambil mengatur napas. Entahlah tepukan Berta benar-benar membuatku shock.
“Sejak kapan ada hantu dengan tampang ganteng kaya gini? Hm... ada apa dengan lukisan ini?”
“Aku suka. Suka banget. Pengen bawa pulang tapi impossibble banget deh kayanya” ucapku sambil terus menatap lukisan ini.
“Kenapa kamu suka lukisan ini?”
“Lukisan ini bikin aku tenang. Membuatku tak ingin meninggalkan tempat ini. kenapa aku jadi kaya gini ya?”
“Tau deh.... kamu kaya yang terhipnotis aja”
“Iya kamu bener. Aku terhipnotis oleh lukisan ini”
“Ah udahlah ayo, aku mau nraktir kamu makan. Mau ga?”
“Setuju...” aku ga akan menolak pada siapapun yang akan mentraktirku makan, secara gratisan.
Di Grage mall cirebon, mobil Berta terparkir dengan rapi. Kami berdua masuk ke dalam mall. Selintas kami terlihat seperti pasangan kekasih. Ah ini adalah kali pertamanya aku dan Berta jalan berdua biasanya kami jalan berlima atau berenam. Berta cukup tampan sih, bahkan sebenarnya dia itu cool, jenius pula. Ah sayang  sekali kenapa dia belum punya cewek. Andai aku bisa jadi ceweknya, bahagianya...... hm.... aku mulai berafikir yang ngga ngga deh. Habis bagaimana lagi, bener deh Berta itu perfect banget. Tapi baiklah aku sudah punya Ken. Ken sudah cukup baik padaku. Meskipun kami jarang kontak karena Ken terlalu disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikulernyanya dan aku pula sibuk dengan The Flower jadi kami jarang sekali ketemu atau jalan bareng.
“Makan dulu, terus kita nonton” ucap Berta. Aku kaget, nonton?
“Nonton?” tanyaku pada Berta. Aku mendongakan kepalaku tepat di depan wajahnya. Aku kaget sekali ketika menyadari posisi ku sangat dekat dengannya.
“Iya. Kenapa?” jawabnya sambil tersenyum.
“Ah ngga kenapa-kenapa” jawabku sambil menjauhi wajahnya.  Aku ingin bertanya lebih lanjut, namun kuurungkan niatku.
            Setelah makan dan merasa kenyang, kami membeli dua tiket nonton.
“Berta, aku ke toilet dulu ya. Kamu duluan aja, nanti aku nyusul” ucapku pada Berta dan dia mengangguk. Sebelum nonton biasanya aku buang air kecil terlebih dahulu biar ngga kebelet di tengah pas nonton, soalnya diruangan berAC biasanya aku akan sering tak kuasa menahan buang air kecil. Suasana ruangan bioskop pun sudah dibuka dan masih sangat sepi. Aku melangkah masuk ke ruangan bioskop menyusul Berta dan aku begitu terkejut luar biasa. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Seketika Berta memelukku dari samping dan menutup mataku dengan tangannya. Aku tak kuat melihatnya. Berta segera menarikku dan keluar dari ruangan bioskop. Aku tak bisa menahan air mataku.
“Berta, bisa anter aku pulang?” tanyaku padanya dengan perasaan sangat kacau. Ah aku sudah tak bisa berfikir apa-apa lagi. Aku segera masuk mobil dan Berta pun sangat mengerti dengan keadaanku.
“Pulang?”
“Ke rumah Ola. Aku ga bisa sendirian”
“Halo Ola, kamu ada di rumah?. Oke, aku sama Saski mo ke rumah kamu. Kamu jangan kemana-mana ya” ucap Berta lewat ponselnya. Ia memastikan agar Ola benar ada di rumah.
“Thanks ya” air mataku masih belum mau berhenti mengalir. Ah begitu sakit rasanya. Ken berciuman dengan wanita litu. Aku sering melihat wajah wanita itu, dia memang salah satu aktivis OSIS. Tapi aku tak tau siapa namanya.
Sesampainya dirumah Ola, aku langsung memeluknya. Dan Ola menyambut pelukannku.
“Kenapa Sas?” tanya Ola. Aku tak menjawab. Dan Berta pun tetap diam.
“Ke taman belakang aja La. Saski lagi butuh temen. Jiwanya lagi terguncang“  kami bertiga melangkah menuju taman belakang. Aku melangkah tetap dalam pelukan Ola an Berta berjalan di belakang kami.
“Kenapa Sas, cerita donk” tanya Ola yang nampaknya sangat penasaran.
“Tadi kita liat Ken sama Helena ciuman di bioskop” jawab Berta.
“Apa? Ken sama Helena? Kurang ajar banget sih tuh anak” kata Ola garang.
Aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Menghapus air mataku dan menarik napasku dalam-dalam.
“Udah lah, mungkin ini sudah waktunya. Dari dulu aku udah ngerasa ada yang beda dari Ken. Apalagi semenjak masuk OSIS dia nampak beda. Dan mungkin ini jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Kalian ngga usah khawatir. Aku baik-baik saja kok” ucapku seraya mencoba tersenyum pada kedua sahabatku itu.
Tiga bulan kemudian
Aku telah memutuskan hubungan dengan ken. Hubungan itu memang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Sakit hatiku sudah mulai menghilang, lagipula selama ini pun sebenarnya aku tak terlalu mengharapkan Ken. Aku tak pernah menganggap Ken spesial.
Saski, ada paket tuh buat kamu” seru ayah dari lantai dasar. Aku sangat penasaran paket apaan? Dari siapa pula? aku menuruni anak tangga rumah dengan perasaan deg-degan dan penasaran. Aku  melihat sebuah benda persegi panjang dengan luas 1 m2 tergeletak dekat kursi rumah. Benda itu dibungkus dengan kertas berwarna coklat. Aku menyobek kertas itu dan alangkah terkejutnya benda itu adalah lukisan yang pernah aku lihat di galery milik paman Berta. Aku  juga menemukan amplop Biru muda di dalam lukisan itu.
Aku ngga jadi jual lukisan ini sejak kamu bilang kalau kamu sangat menyukai lukisan ini.  Aku sadar lukisan ini sangat berharga bagiku karena ini adalah lukisan pertamaku selain itu aku melukis ini dengan bimbingan ayahku sebelum ia meninggal. Intinya aku tak ingin melepaskan Lukisan ini. Namun aku titipkan lukisan ini kepadamu hingga suatu hari disaat aku sudah siap aku akan menjemput lukisan ini dan menjemputmu. Aku sayang kamu Saski
Berta Baratha.
Aku meneteskan air mata sembari memeluk kertas surat itu. Aku  tak menyangka Berta menyayangi dan mencintaiku. Sudah lama aku memendam perasaan untuk Berta namun aku tak berani berbuat apa-apa. Setelah tau Berta naksir gadis lain yang aku pun tak tau siapa gadis itu akhirnya aku memutuskan untuk menerima Ken yang selama ini meminta cintaku. Namun aku tau Berta tak pernah dekat dengan cewek manapun. Kini aku tau Berta berada di Padang. Dan entah kapan ia akan kembali. Namun aku yakin Berta akan menjemputku dan menepati janjinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar