Sabtu, 21 April 2012

Hujan


Luna melangkah dengan sangat tergesa-gesa. Kakinya yang ramping melangkah dengan indah setiap kali ujung sepatunya mendarat di daratan bumi. Rambutnya yang ikal, mengambang tertiup angin, tangannya yang mungil erat memegangi buku-buku modul perkuliahannya. Luna mahasiswi Fakultas Kedokteran dari Universitas ternama melenggang dengan sangat cantik membelah lautan-lautan manusia di koridor gedung kuliahnya.
“Luna.... Luna.....” suara Ryan membuat langkah Luna terhenti. “Mau kemana? Makan dulu yuk..!” ucapnya setelah berdiri di hadapan Luna.
“Aku mau pulang yan, mau hujan nih. Aku ngga bawa payung” ucapnya pada pria yang telah menjadi sahabatnya beberapa bulan terakhir ini. Ryan dan Luna memang satu jurusan. Kedekatan mereka berawal semenjak Luna dan Ryan menjadi rekan kelompok dalam kelas anatomi.
“Ya elah, Lun. Kamu kan bisa naik taksi atau nanti aku anter kamu pulang deh kalau hujan. Ayolah Lun, emang kamu ngga laper ya. Kita kan belum makan dari pagi” Ryan memohon pada Luna. Ya sejak pagi mereka memang belum memakan suatu apapun. Mereka masuk kelas tepat jam 6 pagi dan bubar pukul 12 siang. Ryan merasakan cacing-cacing dalam perutnya benar-benar mengoyak-ngoyak lambungnya.
Luna tersenyum kemudian, “Baiklah. Tapi jangan lama-lama yah. Udah mau hujan nih” ucap Luna santai. Tak dapat dipungkiri Luna pun merasakan lapar yang sama seperti Ryan. 
“Kenapa sih kamu? Kok takut banget sama hujan?” kata Ryan merasa heran dengan sikap Luna.
“Ngga apa-apa sih. Aku cuma ngga mau sakit aja. Kamu tau kan, aku kalau kehujanan sedikit aja pasti langsung demam karena itu aku ngga mau menyusahkan orang rumah” kilah Luna Sambil berjalan di depan Ryan. Sebenarnya Luna takut teringat pada Jona. Setiap kali hujan turun jika sedang berada di kampus ia pasti akan sangat merindukan Jona. Itulah kini yang menjadi alasan utama Luna.
“Iya, itu artinya badan kamu lebay. Masa keujanan sedikit aja langsung sakit sih. Makanya daya tahan tubuhnya harus kuat donk. Kaya aku nih...” Ryan menjajari langkah Luna.
“Oke deh Pak Dokter” ucapnya sambil menoleh ke arah Ryan.
Luna duduk di pojok kantin, ia memang tak suka dengan keramaian. Luna lebih suka menyendiri. Tempat kesukaannya adalah perpustakaan kampus atau taman belakang fakultas kedokteran yang jarang dikunjungi orang-orang. Luna dan Jona lebih senang nongkrong di tempat-tempat itu.
“Mau pesan apa Lun?” tanya Ryan.
“Mie ayam sama es teh manis deh Yan”
“Oke” Ryan melangkah menuju Mang Ojos untuk memesan pesanan mereka.
Sepeninggal Ryan, seorang gadis dengan perawakan tinggi datang mengahampiri Luna. Gadis itu terlihat sebaya dengan Luna. Matanya tajam dan menyorotkan kebencian. Luna tak mengenalnya, namun gadis itu mendekat dan semakin mendekat. Dari jaket yang ia kenakan, Luna dapat menyimpulkan bahwa gadis itu berasal dari universitas lain. Luna mencoba tersenyum kearahnya, namun gadis itu tak membalas senyumnya. Gadis itu mendekat dan terus mendekat. Luna merasa terganggu dengan aura yang terpancar dari gadis itu.
“Kamu Luna kan?” tanyanya dengan nada bicara tajam. Luna mengangguk mengiyakan. “Pacarnya Jonathan kan?” tanyanya lagi seolah mengintrogasi. Luna mengangguk untuk yang kedua kalinya. “Kenalkan, aku Vio. Sahabat Jona sewaktu SMA” Vio tidak mengulurkan tangannya dan Luna mengangguk sambil tersenyum ramah pada Vio. Namun Vio tak membalas senyum Luna sekalipun. “Aku tau Jona mati gara-gara kamu kan?” ucapan Vio kali ini benar-benar membuat tubuh Luna terperenjat. Seketika tubuh Luna terasa lemas dengan tuduhan yang baru saja dilontarkan Vio. Kenapa semua orang menyalahkan Luna? Mereka menuduh Luna lah akibat dari kematian Jona. Anak-anak kampus, keluarga Jona, Vio, semuanya berkata seperti itu. “Kalau saja selepas menerima penghargaan dari dikti Jona langsung pulang ke rumahnya, pasti anak-anak tawuran itu takkan membunuh Jona. Kalau saja Jona tidak mencintai kamu, pasti dia tidak akan mati diusianya yang masih muda. Aku sangat yakin bahwa kamulah yang membunuh Jona. Kau tau sekarang Tante Tiara keluar masuk rumah sakit jiwa karena kehilangan Jona. Om Ardi keluar rumah sakit karena serangan stroke nya, sejak Jona meninggal kesehatan Om Ardi jadi semakin memburuk. Bagaimana tidak, anak tunggalnya yang jenius, banyak prestasi kini harus mati diusianya yang masih sangat belia dan itu gara-gara kamu Luna. Kamu lah pembunuh Jona” ucap Vio benar-benar membuat Luna sangat lemas. Perasaan bersalahnya yang dulu berhasil Luna redam sejak kematian Jona kini kembali mejadi-jadi.
“Terus kamu mau apa Vio? Kalau kejadiannya kaya gini kamu mau apa?” Luna mulai terisak. Dadanya terasa sesak dan berat. Suaranya parau.
“Aku ngga mau apa-apa dari kamu. Tak ada yang bisa dilakukan untuk membuat Jona hidup kembali. Aku ke sini hanya ingin mengingatkan kembali pada kamu, bahwa kamu adalah pembunuh Jona. Kamu juga akan membunuh Tante Tiara dan Om Ardi pelan-pelan, Luna. Camkan itu” mendengar ucapan Vio, Luna bagai tersengat listrik ribuan volt. Luna bangun dari tempat duduknya. Hatinya sakit dituduh dengan sangat keji oleh Vio. Pipi Luna mulai basah. Butiran-butiran bening itu pecah dan mengalir.
“Vio, aku tegaskan sama kamu, aku tidak membunuh Jona, aku juga tidak membunuh Om Ardi dan Tante Tiara. Asal kamu tahu yah, aku juga kehilangan Jona. Aku sangat mencintai Jona, mungkin aku telah membunuh diriku sendiri secara pelan-pelan sejak kematian Jona. Sampai detik ini aku masih sangat mencintai Jona” ucap Luna sambil pergi meninggalkan Vio di meja kantin.
“Lun kemana? Ini mie ayamnya...” ucap Ryan yang baru datang dengan baki berisi dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es teh yang dipegangnya. Ryan menoleh ke arah Vio yang masih terduduk di tempatnya. Matanya menatap lurus kepergian Luna yang menjauh dan menghilang di koridor kampus. “Hey kamu, apa yang baru kamu bicarakan dengan Luna?” tanya Ryan ingin tau.
“Ngga ada urusannya sama kamu” jawab Vio sambil pergi meninggalkan Ryan.
            Hujan telah turun dan menderas. Petir terdengar di sana-sini. Cuaca hari ini persis dengan cuaca hati Luna. Luka yang delapan bulan ini hampir mengering, kini harus terbuka kembali. Menganga. Luka itu kembali basah, padahal Luna harus berjuang susah payah untuk menyembuhkan luka yang mendalam itu.
Luna berjalan menuju perpustakaan kampus. Entah kenapa ia ingin sekali ke sana. Menyendiri. Sama seperti awal ketika Luna dan Jona bertemu. Mereka dipertemukan di tempat itu, tepat saat hujan turun dan begitu deras, saat petir saling menyambar, persis sepeti saat ini.
Luna menangis di pojok perpustakaan. Tempat yang sama dimana ia bertemu dengan Jona pertama kalinya. Saat itu Luna menangis karena sahabatnya yang pergi meninggalkannya, dan Jona yang melihat Luna menangis mencoba mehibur Luna. Sejak saat itu mereka menjadi dekat. Setiap hujan turun, Luna tak bisa pulang karena daya tahan tubuhnya yang lemah maka biasanya ia akan menunggu hujan reda sambil sekedar membaca buku di perpustakaan dan saat itu ia selalu bertemu dengan Jona.
“Kok belum pulang?” tanya Jona dengan kacamata tebal yang bertengger di hidung mancungnya.
“Hujan, kamu?”
“Sama, Hujan” kemudian keduanya tertawa bersama. Mereka sering menghabiskan waktu bersama disaat hujan seperti ini.
“Aku suka sekali suara hujan. Merdu seperti suara nyanyian” ucap Luna waktu itu.
“Aku juga suka sekali hujan, karena disaat hujan aku bisa bertemu sama kamu di sini” ucap Jona sambil tersenyum ke arah Luna.
Tangis Luna tak bersuara, namun air mata Luna deras mengalir. Tiba-tiba Luna merasa sangat merindukan Jona. Luna sangat merindukan senyumnya, matanya, hidungnya, kacamatanya yang tebal, suaranya, cara Jona menjelaskan disaat Luna mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas. Pokoknya Luna merindukan semua tentang Jona. Biasanya Luna akan bersama Jona disaat hujan seperti ini. Ia rindu Jona. Jonathan Ariansyah.
Tiba-tiba ponsel Luna berdering, nada pengingatnya berbunyi. Di layar ponsel Luna tertera pengingat bahwa hari ini adalah hari jadian Luna dan Jona. Satu tahun sudah mereka jadian.
“Jona, aku kangen banget sama kamu. Kenapa kamu harus pergi ninggalin aku....” isak Luna dalam tangisnya. “Aku ngga kuat jalani ini sendiri Jo....”  
Delapan bulan lalu, saat Jona baru saja selesai menerima penghargaan dari Dikti sebagai mahasiswa berprestasi nasional Jona langsung berencana menemui Luna di kediamannya. Namun di tengah perjalanan menuju rumah Luna, mobil Jona di stop oleh mahasiswa yang sedang tawuran. Jona yang saat itu masih mengenakan almamater universitas dipaksa keluar dari dalam mobil oleh beberapa orang dan langsung dipukuli tanpa tau persoalan apa-apa. Mereka memukuli Jona dengan membabi buta. Jona sempat dibawa ke rumah sakit, namun Jona tak dapat bertahan hingga dokter memvonis bahwa Jona telah meninggal.
“Jo, hari ini hari jadian  kita. Aku ngga mau ngerayain sendirian...” ucap Luna masih terisak. Tiba-tiba telinganya berdenging dan dadanya terasa sangat sakit. Luna menutup matanya.
Luna menatap semua pandangannya penuh dengan cahaya, tiba-tiba dibalik kabut putih nan tebal Luna melihat seseorang yang sangat dikenalnya, Jona.
“Jona” ucap Luna dengan sangat bahagia.
“Luna, kamu harus kuat. Harus. Aku akan selalu ada buat kamu. Kamu jangan takut”
“Jo, aku pengen ikut sama kamu”
“Ngga Luna. Kamu harus tetep di sini. Aku akan tetap menjaga kamu dari atas. Selamat hari jadian kita ya,,,,” ucap Jo sambil pergi menjauh.
“Selamat hari jadian kita juga. Jona, aku sangat rindu sama kamu”
“Aku juga sangat merindukanmu Luna. Setiap Hujan, aku pasti akan ada buat kamu. Kamu baik-baik ya. Aku harus pergi sekarang”
“Jona jangan pergi dulu, Jona..... Jona........” teriak Luna namun Jona tetap menjauh. Dan menghilang dibalik kabut tebal penuh cahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar