Sabtu, 21 April 2012

Pangeran Bintang dan Puteri Langi


Akhirnya hari ini aku ditelpon oleh salah satu penerbit swasta, uang royaltiku akan segera cair hari ini. Novel pertamaku sudah nangkring di deretan novel ‘New Arrival’ bersama dengan novel-novel lain yang tantu saja ditulis oleh penulis-penulis besar. Kini saatnya aku mencoret salah satu mimpiku untuk menjadi penulis novel dan menerbitkan novel pertamaku. Sebenarnya sejak satu bulan yang lalu novelku ada di Gramedia. Senang dan bahagia sekali rasanya. Setelah berkali-kali aku jatuh bangun, kini akhirnya aku berhasil berdiri tegak.
            Aku bersiap-siap menuju kantor penerbit. Kantor yang ada di daerah Kota itu memang jauh dari rumahku, aku membutuhkan waktu satu jam penuh untuk sampai kesana. Siang ini cuaca sangat panas, sebenarnya aku malas keluar rumah dengan cuaca seperti ini, namun apalah daya, lagipula aku tak ingin mengecewakan Mba Nisa yang sudah memperjuangkan novel pertamaku itu.
            Novel pertama ini aku tulis berdasarkan kisah pribadiku sendiri, meskipun aku bumbui sedikit dengan kebohongan-kebohongan agar ceritanya tampak menarik. Aku sedang sekali ketika menuliskannya. Kisah yang berjalan selama tiga tahun lamanya aku tulis dalam 250 halaman.
            Pukul 11 siang aku sampai di kantor penerbit. Mba Nisa langsung menyambutku dan mengucapkan selamat kepadaku, aku sangat senang sekali Mba Nisa melakukannya untukku
“Baiklah Ri, tunggu sebentar ya. Pak Seno yang ingin menyampaikannya sama kamu” ucapnya sambil meninggalkanku sendiri di ruang tunggu. Mba Nisa memang selalu sibuk dengan pekerjaannya, maklumlah dia kan seorang redaktur bagian fiksi. Namun aku sangat senang bisa kenal dengan orang seperti Mba Nisa. Baik dan perhatian sekali meskipun kami baru kenal. Mba Nisa memberikan pelayanan yang sangat memuaskan untukku meskipun aku adalah anggota penulis baru dan pemula tapi rasa hormatnya sama seperti ia menghormati dan melayani penulis tingkat tinggi.
            Lima belas menit aku menunggu, akhirnya Pak Seno muncul juga dari balik pintu ruangannya. Begitu melihatnya aku langsung berdiri dan tersenyum kepadanya dan beliau pun membalas senyumku.
“Riri ya?” tanyanya sambil duduk di sofa yang ada di hadapanku.
“Iya Pak’ jawabku sambil turut duduk dan tersenyum.
“Ya, begini Nak Riri selamat novel anda telah berhasil terbit ya meskipun baru sebulan dan kami pun belum dapat memastikan apakah novel itu akan menjadi best seller atau tidak. Namun berdasarkan perjanjian maka kami akan membayarkan royaltinya kepada anda” ucapnya dengan sangat bijak. “Bagaimana apakah anda ingin langsung tunai atau menggunakan rekening?” tanyanya lagi.
“Pakai rekening saja Pak” ucapku pendek.
“Baiklah, silakan tulis nomor rekeningnya, nanti pegawai saya yang akan mengirimkannya kepada anda” katanya sambil menyodorkan kertas dan sebuah pulpen. Aku membuka buku tabunganku yang sengaja aku bawa dan menuliskan beberapa digit angka pada kertas putih bersih itu.
            Aku melangkahkan kakiku dengan sangat ceria. Pukul tiga sore aku sampai di gerbang perumahanku. Mataku menangkap sosok yang sepertinya aku kenal. Badan dengan perawakan sedikit berisi, jaket blaster hijau coklat yang menjadi almamater kelas waktu SMA, serta model rambut yang tak asing bagiku. Dia tertunduk lesu di depan gerbang rumahku. Aku mendekat dan semakin mendekat, aku semakin penasaran dengan sosoknya. Dia adalah teman sekelasku, tapi siapa? Kepalanya yang menunduk, membuatku tak dapat melihatnya, namun akhirnya ia menatap pandangannya lurus. Aku membekap mulutku sendiri ketika ia mendongakkan kepalanya, aku kaget bukan main. Sosok itu kenapa ada di depan rumahku? Sosok yang satu tahun ini aku tak bertemu dengannya. Sosok yang pernah mewarnai hidupku, masa-masa SMA ku.
Apa yang sedang ia lakukan di sini? Di depan rumahku? Darimana dia tau kalau aku tinggal di sini? Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya. Dulu aku sangat membencinya. Aku benci karena ia tumbuh menjadi anak yang jenius. Aku benci karena dia selalu menjadi yang pertama di kelas. Aku benci karena dia pernah memenangkan lomba OSN. Aku benci dia.
Dadaku semakin deg-degan tak karuan saat ia mata bulatnya melihat ke arahku. Rasanya aku ingin segera kabur dan berlari tapi itu tak mungkin ku lakukan. Ia berdiri untuk menyambutku. Dan tak ada yang harus aku lakukan, aku mempercepat langkahku untuk menemuinya.
“Ini Novel kamu kan?” tanyanya sambil menyodorkan sebuah novel ber-cover biru dengan judul ‘Pangeran Bintang’. Aku terkejut ia membawa novelku. Sebagian kisah dari novel itu memang tentangnya. Apa yang harus aku katakan padanya kalau sampai dia tahu kalau akulah yang nulis novel itu. “Aku masih inget lho sama cita-citamu yang ingin jadi penulis novel” katanya. Kemudian dia diam beberapa detik.
“Itu bukan novelku” jawabku ketus. Aku tak ingin dia tahu tentang kisah itu yang tiga per empatnya adalah nyata. Aku berdiri tepat dihadapannya.
“Lun, aku mau ngomong sama kamu” katanya lagi.
“Ngomong aja!” ucapku tak ramah.
“Kamu itu masih kaya yang dulu yah. Judes. Kamu tau kan aku kesini bela-belain dari Jogja dan kamu ngga mempersilakan aku masuk sama sekali. Dasar tidak memuliakan tamu” katanya dengan mimik wajah yang sama ketusnya.
“Udah deh katanya mau ngomong, ya udah ngomong aja!” ucapku. Sejujurnya aku sangat merindukannya. Ingin sekali aku memeluknya, namun hatiku terlalu gengsi untuk mengakui perasaan yang selama ini bernaung dalam hatiku.
“Iya, aku mau ngomong sama kamu, tapi ngga di sini. Ikut aku...!” dia menarik paksa lenganku dan mengajak naik ke motor hitam yang ia bawa.
“Kita mau kemana? Lepaskan Gas! Sakit tau!” aku coba melepaskan tanganku namun cengkraman Agas terlalu kuat. Akhirnya aku menyerah dan ikut dengannya.
Ternyata Agas mengajakku ke rumah makan bumbu wangi, salah satu rumah makan favoritku. Entah hanya kebetulan atau tidak ia tahu apa yang aku suka. Aku duduk lesehan di hadapan Agas dengan wajah cemberutku. Sungguh ini bukanlah diriku yang sesungguhnya.
“Lun, kamu ngga bisa nyembunyiin lagi. Aku tahu kamu yang nulis novel ini kan.  Lun, jujur sama aku apakah isi dari semua kisah yang ada di novel itu benar?”
“ya ampun Gas, itu kan Cuma novel. Cuma karangan fiktif. Aku Cuma ngarang-ngarang aja kok Gas”
“Iya, kamu nulis semuanya Lun. Semua tentang kita. Dan aku tau kamu nulis tentang perasaanmu juga kan? Perasaanmu sama aku. Apa bener diam-diam kamu suka sama aku?” tanya Agas dengan air muka serius.
Iya Gas, diam-diam aku memang suka sama kamu. Jawabku dalam hati.
“Jadi kamu ke Jakarta Cuma mau nanya itu doank Gas? Agas cerita itu tuh fiktif”
“Kamu bohong Lun. Kamu itu tiga tahun jadi sahabat aku. Aku kenal kamu luar dalem Lun. Aku bisa baca mata kamu kalau kamu lagi bohong” aku terdiam. Aku tak bisa menggerakkan lidahku. Tiba-tiba saja tenggorokanku tercekat. Kenapa Agas kembali dengan kondisi yang seperti ini. Tuhan kuatkan aku. Teriakku dalam hati. Aku tak mampu membalas tatapan Agas. Ingin rasanya aku menangis di hadapannya tapi aku gengsi melakukan itu.
“Lun, sekarang Sekar lagi butuh kamu. Sejak sebulan yang lalu dia terbaring di rumah sakit. Dia nungguin kamu. Dia sangat sedih karena kamu menghilang begitu saja. Kamu tak bisa dihubungi. Dia memintaku buat nyari kamu” ucap Agas sambil membolak balik novel yang dipegangnya. Satu kenyataan yang aku tau bahwa dia ke Jakarta bukan untuk mencariku tapi ia hanya diutus oleh Sekar, sahabatku. “Sekar kangker otak Lun” ucapan Agas kali ini benar-benar membuat jiwaku tersentak.
“Apa? Kangker otak?” aku bertanya dengan nada seperti membentak. Aku tak kuat menahan reaksi jiwaku yang bergolak. Sekar selama tiga tahun menjadi sahabatku. Menjadi sahabat aku dan Agas selama SMA.
“Iya dan kangkernya udah stadium empat. Kamu harus ke Jogja Lun. Dia butuh kamu disaat-saat terakhirnya”
“Gas, kita berangkat saat ini juga”
Aku dan Agas segera ke Jojga dengan pesawat saat itu juga. Aku tak bisa membayangkan kondisi sekar saat ini. Aku menyadari betapa jahatnya aku  meninggalkan Sekar sendiri. Membiarkannya menangnggu semua ini seorang diri. Sekar yang sangat baik padaku. Ah kenapa takdir yang seperti ini yang menimpa Sekar. Selama perjalanan, aku banyak berdiam diri. Aku tak memperdulikan Agas. Meskipun aku sangat merindukannya, tapi sekar jauh lebih penting saat ini.
Kami sampai di rumah sakit tepat sekar di rawat tepat jam sembilan pagi.
“Sekar...!” ucapku seraya mengagetkan semua yang ada di kamar Sekar. Aku tak peduli, aku sangat merindukan Sekar. Agas masih mengekor dibelakangku. “Sekar, maafin aku...” ucapku seraya terisak memeluk  Sekar. Tubuhnya benar-benar kurus, wajahnya pucat dan layu. Namun sekar masih cantik persis seperti dulu.
“Luna, aku sangat kangen sama kamu” ucap Sekar dengan suara pelan setengah berbisik. “Ma, Pa, Sekar mau ngomong empat mata sama Luna” Sekar menoleh ke arah orang tuanya. Setelah orang tua sekar keluar kamar, hanya ada aku dan Sekar. Wajahnya mulai terlihat serius. Matanya basah dan meneteskan air mata. Aku tak mengerti kenapa ia bisa begitu. “Lun, maafin aku ya. Aku udah baca novel kamu. Selamatnya akhirnya kamu berhasil juga jadi penulis novel. Aku tau ko dari dulu kamu memang suka sama Agas. Dan maafin aku, aku terlalu egois. Aku ngerebut Agas dari kamu. Padahal jelas-jelas aku tau kalau kalian saling suka, dan kamu malah mengorbankan perasaanmu sendiri buat aku. Aku memang sahabat terkejam yang pernah ada. Dan mungkin ini karma dari semua perbuatanku.....” Sekar masih terisak dalam kata-katanya.
“Cukup Sekar, cukup! Harusnya aku yang minta maaf. Aku udah menghilang dari kalian setahun ini. Maafin aku. Aku lah yang tak pantas jadi sahabat kalian, aku yang.....” belum aku menyelesaikan kata-kataku, Sekar langsung memotong.
“Lun, ini adalah saat-saat terakhirku. Maukah kamu janji sama aku. Jagain Agas buat aku Lun. Aku pengen kisah Pangeran Bintang dan Puteri Langit jadi nyata, menyempurnakan semuanya dan menjadi nyata. Bukan hanya sekedar cerita fiktif”
“jangan ngomong kaya gitu Sekar, kita akan sama-sama terus ko. Sampai nanti, sampai kita tua. Aku ngga akan pergi dari kalian lagi. Kamu jangan tinggalin aku Sekar”
“Aku mohon Lun, janjilah padaku kalau kamu akan jaga pangeran Bintangmu itu. Janjilah padaku Lun....” kali ini aku tak dapat menolak, aku menganggukan kepalaku. Aku tak kuat melihat keadaan Sekar yang semakin melemah. “Tolong panggilkan Agas!” aku bergegas keluar kamar dan memanggil Agas.
“Kenapa Sekar?” tanya Agas dengan sangat lembut.
“Aku tahu gas, dari dulu kamu memang tak pernah mencintaiku. Aku tahu kamu cuma cinta sama Luna. Maafin aku Gas, maafin aku. Kali ini aku takkan egois lagi. Aku bebaskan Pangeran Bintang itu untuk bahagia bersama puteri langit. Makasih Gas atas semua pengorbanan kamu buat aku”
“Lupakan semuanya Sekar, kita mulai dari awal lagi. Persahabatan kita semua. Tak akan ada yang pergi lagi diantara kita. Berjanjilah padaku”
“Tapi aku harus pergi sekarang. Panggilkan mama dan papaku....”
Aku keluar dari ruangan untuk memanggil orang tua Sekar. Aku benar-benar tak kuat melihat kondisi Sekar. Tubuhnya benar-benar lemah. Sementara orangtua sekar berada dalam kamar, aku memecahkan tangisku di luar tunggu. Namun tiba-tiba Agas duduk di sampingku.
“Sekar hanya ingin bersama orang tuanya. Ia tak ingin kita sedih saat-saat terakhirnya”
Kali ini aku tak kuasa menahan tangisku, Agas menarik kepalaku dan menyandarkan ke bahunya. Aku menangis sejadinya di bahu Agas.
Sebulan kemudian.....
Tok tok tok...... ketukan pintu rumahku terdengar  begitu lantang. Sebal sekali aku mendengar. Tamu yang benar-benar tidak sabar. Dengan langkah terburu-buru aku menuruni anak tangga, hampir saja aku jatuh terpleset, namun untunglah Tuhan masih menghendaki aku sehat hari ini. Aku membuka pintu dan alangkah terkejutnya melihat Agas tengah membelakangiku. Membelakangi pintu.
“Agas? Ngapain di Jakarta?”
“Pangeran bintang berkata Duhai puteri langit, maukah kau menghabiskan sisa usiamu untuk hidup bersamaku?” Agas membacakan beberapa potongan kalimat yang terdapat dalam novelku. “Aku tak ingin ada fiktif lagi dalam novelmu. Aku ingin menjadikan seluruh kisahnya nyata. Lun, maukah kau menghabiskan sisa usiamu untuk hidup bersamaku? Aku serius Lun” ucap Agas, matanya melambangkan kalau ia memang benar-benar serius. Aku menatapnya lama, bingung dengan apa yang akan aku katakan. Kemudian aku tertawa sendiri melihat mimik muka Agas yang tampak sangat serius. “Kok ketawa sih?” tanyanya sedikit jengkel.
“Menghabiskan sisa usia? Tua banget sih kata-katanya?” ucapku sambil terkekeh.
“Kan itu sesuai yang ada di novelmu” ucapnya.
“Iya, dalam cerita kan Pangeran Bintang dan puteri langit memang sudah sangat dewasa”
“Luna, maukah kamu jadi pacarku?” ulang Agas sambil menyerahkan setangkai mawar putih. Aku langsung memeluk Agas dan sangat bahagia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar