Akhirnya
hari ini aku ditelpon oleh salah satu penerbit swasta, uang royaltiku akan
segera cair hari ini. Novel pertamaku sudah nangkring di deretan novel ‘New
Arrival’ bersama dengan novel-novel lain yang tantu saja ditulis oleh
penulis-penulis besar. Kini saatnya aku mencoret salah satu mimpiku untuk
menjadi penulis novel dan menerbitkan novel pertamaku. Sebenarnya sejak satu
bulan yang lalu novelku ada di Gramedia. Senang dan bahagia sekali rasanya.
Setelah berkali-kali aku jatuh bangun, kini akhirnya aku berhasil berdiri
tegak.
Aku bersiap-siap menuju kantor
penerbit. Kantor yang ada di daerah Kota itu memang jauh dari rumahku, aku
membutuhkan waktu satu jam penuh untuk sampai kesana. Siang ini cuaca sangat
panas, sebenarnya aku malas keluar rumah dengan cuaca seperti ini, namun apalah
daya, lagipula aku tak ingin mengecewakan Mba Nisa yang sudah memperjuangkan
novel pertamaku itu.
Novel pertama ini aku tulis
berdasarkan kisah pribadiku sendiri, meskipun aku bumbui sedikit dengan
kebohongan-kebohongan agar ceritanya tampak menarik. Aku sedang sekali ketika
menuliskannya. Kisah yang berjalan selama tiga tahun lamanya aku tulis dalam
250 halaman.
Pukul 11 siang aku sampai di kantor
penerbit. Mba Nisa langsung menyambutku dan mengucapkan selamat kepadaku, aku
sangat senang sekali Mba Nisa melakukannya untukku
“Baiklah
Ri, tunggu sebentar ya. Pak Seno yang ingin menyampaikannya sama kamu” ucapnya
sambil meninggalkanku sendiri di ruang tunggu. Mba Nisa memang selalu sibuk dengan
pekerjaannya, maklumlah dia kan seorang redaktur bagian fiksi. Namun aku sangat
senang bisa kenal dengan orang seperti Mba Nisa. Baik dan perhatian sekali
meskipun kami baru kenal. Mba Nisa memberikan pelayanan yang sangat memuaskan
untukku meskipun aku adalah anggota penulis baru dan pemula tapi rasa hormatnya
sama seperti ia menghormati dan melayani penulis tingkat tinggi.
Lima belas menit aku menunggu,
akhirnya Pak Seno muncul juga dari balik pintu ruangannya. Begitu melihatnya
aku langsung berdiri dan tersenyum kepadanya dan beliau pun membalas senyumku.
“Riri
ya?” tanyanya sambil duduk di sofa yang ada di hadapanku.
“Iya
Pak’ jawabku sambil turut duduk dan tersenyum.
“Ya,
begini Nak Riri selamat novel anda telah berhasil terbit ya meskipun baru sebulan
dan kami pun belum dapat memastikan apakah novel itu akan menjadi best seller
atau tidak. Namun berdasarkan perjanjian maka kami akan membayarkan royaltinya
kepada anda” ucapnya dengan sangat bijak. “Bagaimana apakah anda ingin langsung
tunai atau menggunakan rekening?” tanyanya lagi.
“Pakai
rekening saja Pak” ucapku pendek.
“Baiklah,
silakan tulis nomor rekeningnya, nanti pegawai saya yang akan mengirimkannya
kepada anda” katanya sambil menyodorkan kertas dan sebuah pulpen. Aku membuka
buku tabunganku yang sengaja aku bawa dan menuliskan beberapa digit angka pada
kertas putih bersih itu.
Aku melangkahkan kakiku dengan
sangat ceria. Pukul tiga sore aku sampai di gerbang perumahanku. Mataku
menangkap sosok yang sepertinya aku kenal. Badan dengan perawakan sedikit
berisi, jaket blaster hijau coklat yang menjadi almamater kelas waktu SMA,
serta model rambut yang tak asing bagiku. Dia tertunduk lesu di depan gerbang
rumahku. Aku mendekat dan semakin mendekat, aku semakin penasaran dengan
sosoknya. Dia adalah teman sekelasku, tapi siapa? Kepalanya yang menunduk,
membuatku tak dapat melihatnya, namun akhirnya ia menatap pandangannya lurus. Aku
membekap mulutku sendiri ketika ia mendongakkan kepalanya, aku kaget bukan
main. Sosok itu kenapa ada di depan rumahku? Sosok yang satu tahun ini aku tak
bertemu dengannya. Sosok yang pernah mewarnai hidupku, masa-masa SMA ku.
Apa
yang sedang ia lakukan di sini? Di depan rumahku? Darimana dia tau kalau aku
tinggal di sini? Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya. Dulu aku sangat
membencinya. Aku benci karena ia tumbuh menjadi anak yang jenius. Aku benci
karena dia selalu menjadi yang pertama di kelas. Aku benci karena dia pernah
memenangkan lomba OSN. Aku benci dia.
Dadaku
semakin deg-degan tak karuan saat ia mata bulatnya melihat ke arahku. Rasanya
aku ingin segera kabur dan berlari tapi itu tak mungkin ku lakukan. Ia berdiri untuk
menyambutku. Dan tak ada yang harus aku lakukan, aku mempercepat langkahku
untuk menemuinya.
“Ini
Novel kamu kan?” tanyanya sambil menyodorkan sebuah novel ber-cover biru dengan judul ‘Pangeran
Bintang’. Aku terkejut ia membawa novelku. Sebagian kisah dari novel itu memang
tentangnya. Apa yang harus aku katakan padanya kalau sampai dia tahu kalau
akulah yang nulis novel itu. “Aku masih inget lho sama cita-citamu yang ingin
jadi penulis novel” katanya. Kemudian dia diam beberapa detik.
“Itu
bukan novelku” jawabku ketus. Aku tak ingin dia tahu tentang kisah itu yang
tiga per empatnya adalah nyata. Aku berdiri tepat dihadapannya.
“Lun,
aku mau ngomong sama kamu” katanya lagi.
“Ngomong
aja!” ucapku tak ramah.
“Kamu
itu masih kaya yang dulu yah. Judes. Kamu tau kan aku kesini bela-belain dari
Jogja dan kamu ngga mempersilakan aku masuk sama sekali. Dasar tidak memuliakan
tamu” katanya dengan mimik wajah yang sama ketusnya.
“Udah
deh katanya mau ngomong, ya udah ngomong aja!” ucapku. Sejujurnya aku sangat
merindukannya. Ingin sekali aku memeluknya, namun hatiku terlalu gengsi untuk
mengakui perasaan yang selama ini bernaung dalam hatiku.
“Iya,
aku mau ngomong sama kamu, tapi ngga di sini. Ikut aku...!” dia menarik paksa
lenganku dan mengajak naik ke motor hitam yang ia bawa.
“Kita
mau kemana? Lepaskan Gas! Sakit tau!” aku coba melepaskan tanganku namun
cengkraman Agas terlalu kuat. Akhirnya aku menyerah dan ikut dengannya.
Ternyata
Agas mengajakku ke rumah makan bumbu wangi, salah satu rumah makan favoritku.
Entah hanya kebetulan atau tidak ia tahu apa yang aku suka. Aku duduk lesehan
di hadapan Agas dengan wajah cemberutku. Sungguh ini bukanlah diriku yang
sesungguhnya.
“Lun,
kamu ngga bisa nyembunyiin lagi. Aku tahu kamu yang nulis novel ini kan. Lun, jujur sama aku apakah isi dari semua
kisah yang ada di novel itu benar?”
“ya
ampun Gas, itu kan Cuma novel. Cuma karangan fiktif. Aku Cuma ngarang-ngarang
aja kok Gas”
“Iya,
kamu nulis semuanya Lun. Semua tentang kita. Dan aku tau kamu nulis tentang
perasaanmu juga kan? Perasaanmu sama aku. Apa bener diam-diam kamu suka sama
aku?” tanya Agas dengan air muka serius.
Iya Gas, diam-diam aku
memang suka sama kamu. Jawabku dalam hati.
“Jadi
kamu ke Jakarta Cuma mau nanya itu doank Gas? Agas cerita itu tuh fiktif”
“Kamu
bohong Lun. Kamu itu tiga tahun jadi sahabat aku. Aku kenal kamu luar dalem
Lun. Aku bisa baca mata kamu kalau kamu lagi bohong” aku terdiam. Aku tak bisa
menggerakkan lidahku. Tiba-tiba saja tenggorokanku tercekat. Kenapa Agas
kembali dengan kondisi yang seperti ini. Tuhan
kuatkan aku. Teriakku dalam hati. Aku tak mampu membalas tatapan Agas.
Ingin rasanya aku menangis di hadapannya tapi aku gengsi melakukan itu.
“Lun,
sekarang Sekar lagi butuh kamu. Sejak sebulan yang lalu dia terbaring di rumah
sakit. Dia nungguin kamu. Dia sangat sedih karena kamu menghilang begitu saja.
Kamu tak bisa dihubungi. Dia memintaku buat nyari kamu” ucap Agas sambil
membolak balik novel yang dipegangnya. Satu kenyataan yang aku tau bahwa dia ke
Jakarta bukan untuk mencariku tapi ia hanya diutus oleh Sekar, sahabatku.
“Sekar kangker otak Lun” ucapan Agas kali ini benar-benar membuat jiwaku
tersentak.
“Apa?
Kangker otak?” aku bertanya dengan nada seperti membentak. Aku tak kuat menahan
reaksi jiwaku yang bergolak. Sekar selama tiga tahun menjadi sahabatku. Menjadi
sahabat aku dan Agas selama SMA.
“Iya
dan kangkernya udah stadium empat. Kamu harus ke Jogja Lun. Dia butuh kamu
disaat-saat terakhirnya”
“Gas,
kita berangkat saat ini juga”
Aku
dan Agas segera ke Jojga dengan pesawat saat itu juga. Aku tak bisa
membayangkan kondisi sekar saat ini. Aku menyadari betapa jahatnya aku meninggalkan Sekar sendiri. Membiarkannya
menangnggu semua ini seorang diri. Sekar yang sangat baik padaku. Ah kenapa
takdir yang seperti ini yang menimpa Sekar. Selama perjalanan, aku banyak
berdiam diri. Aku tak memperdulikan Agas. Meskipun aku sangat merindukannya,
tapi sekar jauh lebih penting saat ini.
Kami
sampai di rumah sakit tepat sekar di rawat tepat jam sembilan pagi.
“Sekar...!”
ucapku seraya mengagetkan semua yang ada di kamar Sekar. Aku tak peduli, aku
sangat merindukan Sekar. Agas masih mengekor dibelakangku. “Sekar, maafin aku...”
ucapku seraya terisak memeluk Sekar. Tubuhnya
benar-benar kurus, wajahnya pucat dan layu. Namun sekar masih cantik persis
seperti dulu.
“Luna,
aku sangat kangen sama kamu” ucap Sekar dengan suara pelan setengah berbisik. “Ma,
Pa, Sekar mau ngomong empat mata sama Luna” Sekar menoleh ke arah orang tuanya.
Setelah orang tua sekar keluar kamar, hanya ada aku dan Sekar. Wajahnya mulai
terlihat serius. Matanya basah dan meneteskan air mata. Aku tak mengerti kenapa
ia bisa begitu. “Lun, maafin aku ya. Aku udah baca novel kamu. Selamatnya
akhirnya kamu berhasil juga jadi penulis novel. Aku tau ko dari dulu kamu
memang suka sama Agas. Dan maafin aku, aku terlalu egois. Aku ngerebut Agas dari
kamu. Padahal jelas-jelas aku tau kalau kalian saling suka, dan kamu malah
mengorbankan perasaanmu sendiri buat aku. Aku memang sahabat terkejam yang
pernah ada. Dan mungkin ini karma dari semua perbuatanku.....” Sekar masih
terisak dalam kata-katanya.
“Cukup
Sekar, cukup! Harusnya aku yang minta maaf. Aku udah menghilang dari kalian
setahun ini. Maafin aku. Aku lah yang tak pantas jadi sahabat kalian, aku
yang.....” belum aku menyelesaikan kata-kataku, Sekar langsung memotong.
“Lun,
ini adalah saat-saat terakhirku. Maukah kamu janji sama aku. Jagain Agas buat
aku Lun. Aku pengen kisah Pangeran Bintang dan Puteri Langit jadi nyata,
menyempurnakan semuanya dan menjadi nyata. Bukan hanya sekedar cerita fiktif”
“jangan
ngomong kaya gitu Sekar, kita akan sama-sama terus ko. Sampai nanti, sampai
kita tua. Aku ngga akan pergi dari kalian lagi. Kamu jangan tinggalin aku
Sekar”
“Aku
mohon Lun, janjilah padaku kalau kamu akan jaga pangeran Bintangmu itu.
Janjilah padaku Lun....” kali ini aku tak dapat menolak, aku menganggukan
kepalaku. Aku tak kuat melihat keadaan Sekar yang semakin melemah. “Tolong
panggilkan Agas!” aku bergegas keluar kamar dan memanggil Agas.
“Kenapa
Sekar?” tanya Agas dengan sangat lembut.
“Aku
tahu gas, dari dulu kamu memang tak pernah mencintaiku. Aku tahu kamu cuma cinta
sama Luna. Maafin aku Gas, maafin aku. Kali ini aku takkan egois lagi. Aku
bebaskan Pangeran Bintang itu untuk bahagia bersama puteri langit. Makasih Gas
atas semua pengorbanan kamu buat aku”
“Lupakan
semuanya Sekar, kita mulai dari awal lagi. Persahabatan kita semua. Tak akan
ada yang pergi lagi diantara kita. Berjanjilah padaku”
“Tapi
aku harus pergi sekarang. Panggilkan mama dan papaku....”
Aku
keluar dari ruangan untuk memanggil orang tua Sekar. Aku benar-benar tak kuat
melihat kondisi Sekar. Tubuhnya benar-benar lemah. Sementara orangtua sekar
berada dalam kamar, aku memecahkan tangisku di luar tunggu. Namun tiba-tiba
Agas duduk di sampingku.
“Sekar
hanya ingin bersama orang tuanya. Ia tak ingin kita sedih saat-saat
terakhirnya”
Kali
ini aku tak kuasa menahan tangisku, Agas menarik kepalaku dan menyandarkan ke
bahunya. Aku menangis sejadinya di bahu Agas.
Sebulan kemudian.....
Tok
tok tok...... ketukan pintu rumahku terdengar
begitu lantang. Sebal sekali aku mendengar. Tamu yang benar-benar tidak
sabar. Dengan langkah terburu-buru aku menuruni anak tangga, hampir saja aku
jatuh terpleset, namun untunglah Tuhan masih menghendaki aku sehat hari ini.
Aku membuka pintu dan alangkah terkejutnya melihat Agas tengah membelakangiku.
Membelakangi pintu.
“Agas?
Ngapain di Jakarta?”
“Pangeran
bintang berkata Duhai puteri langit, maukah kau menghabiskan sisa usiamu untuk
hidup bersamaku?” Agas membacakan beberapa potongan kalimat yang terdapat dalam
novelku. “Aku tak ingin ada fiktif lagi dalam novelmu. Aku ingin menjadikan
seluruh kisahnya nyata. Lun, maukah kau menghabiskan sisa usiamu untuk hidup
bersamaku? Aku serius Lun” ucap Agas, matanya melambangkan kalau ia memang
benar-benar serius. Aku menatapnya lama, bingung dengan apa yang akan aku
katakan. Kemudian aku tertawa sendiri melihat mimik muka Agas yang tampak
sangat serius. “Kok ketawa sih?” tanyanya sedikit jengkel.
“Menghabiskan
sisa usia? Tua banget sih kata-katanya?” ucapku sambil terkekeh.
“Kan
itu sesuai yang ada di novelmu” ucapnya.
“Iya,
dalam cerita kan Pangeran Bintang dan puteri langit memang sudah sangat dewasa”
“Luna,
maukah kamu jadi pacarku?” ulang Agas sambil menyerahkan setangkai mawar putih.
Aku langsung memeluk Agas dan sangat bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar